Heterogenitas dan Pluralitas Dalam Hubungan Keagamaan

Selasa, 15 Februari 2011
“Jasman-al-Mandary”

“Haruskah heterogenitas dan pluralitas merenggut keyakinan akan eksistensi tuhan yang yang telah tertanam dalam dada masing-masing insan yang beragama”

Diakui mmemang bahwasanya, kebenaran sejati itu hanya satu yang bersumber dari bermuara pada Yang Maha Esa, manifestasi kebenaran itupun lahir dalam wujud yang plural. Hanl yang harus dipahami adalah, bahwa dibalik pluralitas itu terdapat kebenaran tunggal yang tidak mungkin diketahui secara tuntas oleh manusia sebab “realitas metafisis-ontologis” selalu beyond batas matra rasionalitas manusia dan mengharuskan medium kultur dan historis. Pluralitas dalam pemahaman ketuhanan bias jadi merupakan keniscayaan, namaun hal itu bukan berarti umat beragama harus memutup mata dari kemungkinan pendangkalan bahkan penyimpangan dari ajaran agamanya.
Mencari dan menemukan jalan untuk mendapatkan cahaya kebenaran menuju keselamatan merupakan kebutuhan mendasar setiap insan, namun hal itu tidak harus berarti manusia menceburkan diri kedalam kebimbangan akibat keberagamaan. Toh teologi tidak akan pernah mampu member kepastian apakah seseorang sedang mendekati atau malah menjauhi “sang Kebenaran”, sedangkan hati tempat bersemayamnya Iman selalu bergelora, kadang pasang dan sesekali surut. Iman selalu menuntun kepastian dan kemutlakan sebab dengan itu Iman akan membawa kedamaian dan ketentraman, bukannya keraguan dan kegelisahan.
Disinilah tercipta harmoni yang indah antara nurani dan akal agar tuhan tetap bersemayam dalam lubuk hati sehingga setiap aktivitas hidup manusia selalu merupakan cerminan yang mencitrakan keyakinan akan adanya ‘Yang Maha Benar’. Inilah sikap yang mesti diambil oleh setiap insan beragama dalam melihat perbedaan jalan dan kesamaan tujuan pada masing-masing keyakinan dan keberagamaan.

Heterogenitas dan pluralitas keyakinan akan eksistensi Tuhan menuntut adanya pengakuan dan keyakinan seseorang, bahwa hanya jalan keselamatan yang dipilih sajalah yang paling sah dan benar, tetapi hal ini bukan berarti seseorang harus bersikap secara membabi buta dengan memaksakan keyakinannya kepada selain dirinya seperti yang digambarkan AN Wilson “exalt their own feelings and opinions above those of other” (meninggikan perasaan mereka sendiri dan pendapatnya di atas orang-orang lain). Heterogenitas dan pluralitas harus dibentengi dengan keyakinan yang tak tergoyahkan dan sikap absolutistik atas kebenaran iman yang dimiliki sehingga akan mengantarkan seseorang pada kemantapan langkahnya untuk menjalani hidayah Tuhannya dan terhindar dari penggerogotan iman atau sikap setengah-setengah dalam bertuhan.

Keyakinan ketuhanan itu merupakan hal yang sangat subjektif dan seringkali merupakan hasil perjalanan menuju taman pencerahan yang tidak lagi disertai oleh objektifitas wacana teoritis apapun. Bukankah subjektifitas Sidharta Gautama dibawah pohon bodhi, atau Muhammad Saw dengan perjalanan “mi’raj”nya yang diterima oleh beningya kalbu dan halusnya ‘fuad’ mereka yang malah justru dapat memancarkan cahaya kebenaran Ilahi. Subjektifitas pengalaman mereka itu jelas tidak mungkin secara ‘edequate’ dapat dibahasakan oleh deretan kata ataupun argumentasi empiris. Hanya pribadi-pribadi yang berkualitas dengan intelektualitas dan ruhani yang unggul seperti mereka sajalah yang mampu melakukan peran hermeneutik transcendental bukan sosok pribadi utopian a la Ubermensch Nietscshean yang justru semakin menghidari dan menjauhi Tuhan. Pribadi=pribadi unggul seperti Budha atau Muhammad Saw sajalah yang mampu menangkap pesan Tuhan dan menerjemahkan pesan itu kedalam bahasa kode etik yang bisa dipahami oleh masyarakatnya. Pribadi-pribadi seperti merekalah yang pantas menjadi inspirator bagi siapa saja untuk melangkah menuju atau memasuki pintu kebenaran dan sumber pencerahan sejati yaitu Tuhan.

Heterogenitas dan pluralitas keyakinan bukan berarti friksi dan konflik tetapi lebih merupakan pengkayaan (entrenchment) wawasan dan jalan alternative menuju kearah makna hidup yang sejati, yaitu kesadaran transcendental. Heterogenitas dan pluralitas kepercayaan akan eksistensi Tuhan harus menjadi kesadaran nurani yang paling dalam, lalu diekspresikan dan dimanifestasikan dalam pencarian makna hidup melalui aktualisasi kemanusiaan. Dalam heterogenitas dan pluralitas jelas diperlukan dialog intersubjektifitas agar masing-masing individu dapat bermain dengan sebaik-baiknya, baik dengan dirinya maupun dengan sesama. Dalam nurani masing-masing harus tercatat dengan penuh kesadaran bahwa saat berbicara mengenai Tuhan, berarti kita sedang membicarakan ‘Misteri’ yang tidak akan terpahami secara tuntas oleh mahluk-Nya. Dalam kaitan itu, kitab suci yang menjadi pegangan seseorang bagi keyakinan akn eksistensi Tuhan juga harus menjadi mitra dialog hermeneutic sehingga setiap deretan kata dan kalimatdidalamnya akan lebih bermakna bagi hubungan yang harmoni antara diri dengan sesamanya, lingkungannya, dengan Tuhannya.

Wallahu a’lam…

0 komentar: