Dialektika Pandangan terhadap Agama
(Refleksi Atas Ironi dan Problematis)
By: Jasman al-Mandary
“Diterima dan ditolak adalah nasib kehadiran setiap agama.
Akibatnya perjalanan sejarah agama tidak kunjung bebas dari ketegangan dan konflik. Adakalanya ketegangan dan konflik itu terjadi di lingkungan internal agama, tapi tidak jarang pula dan ini yang paling keras bahwa tekegangan itu bahkan sampai ketingkat “perang suci atas nama Tuhan” dan pertumpahan darah “martyr” dan “syuhada” terjadi antara satu agama dengan agama lainnya kapan saja dan dimana saja”
Adalah nyata bahwa didalam setiap agama terkandung dua macam kecendrungan ajaran. Pertama, kecendrungan yang mengajarkan bahwa agama yang dianut oleh seseorang adalah yang paling benar, mutlak, superior, dan menyelamatkan; sedang orang-orang yang beragama lain adalah sesat lagi kafir. Kedua, ajaran bahwa setiap orang harus dihormati, dicintai, tidak ada paksaan dalam agama, dan dianjurkan berbuat kebajikan kepada siapa saja bahkan kebaikan ini dianggap sebagai inti dari ajaran setiap agama.
Dalam perkembangan agama, Sejarah mencatat, bahwa pandangan yang pertama banyak mendominasi peradaban dan sikap keberagamaan. Berbagai peristiwa ketegangan menjadi bukti penopang dan jadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan agama dan para penganutnya. Ketegangan itu kerap muncul dalam bentuk polemik, pandangan apologis, sikap yang saling mengisolasi, lalu menjadi permusuhan bahkan sampai pada sikap konfrontasi fisik.
Adalah ironis ketika semua agama yang oleh masing-masing penganutnya diyakini sebagai dimensi yang paling suci dan menyebabkan kehidupan pribadi dan kelompak manusia menjadi sakral, tetapi ternyata dalam perjalanan sejarahnya sering terlibat skandal hubungan konflik antara satu sama lain. Tiga agama sekandung, Yahudi, Nasrani, dan Islam yang berasal dari satu ‘sulbi’ Ibrahim a.s telah menodai lukisan sejarah perkembangan hubungannya dengan tetesan darah para martyr dan syuhada dimasing-masing pihak. Hubungan konflik, saling curiga, kebencian dan bentuk-bentuk hubungan negatif lainnya muncul dimana-mana hingga dewasa ini. Dan menurut ramalan, pertarungan antara dunia Kristen dan dunia Islam akan semakin mendominasi konflik dunia global sebagaimana diperkirakan S.P. Huntington, tetapi kenyataannya lebih parah dari apa yang diramalkan Huntington, bukan lagi antar Yahudi, Nasrani, dan Islam, tetapi antara Islam dengan Islam yang sama-sama mengucapkan syahadat, mengimani al-Qur’an dan menjunjung Hadits Nabi.
Bukankah seharusnya agama memberi petunjuk bagaimana moral dijalankan. Agama yang menjadi sumber moralitas hukum, merupakan sanksi terakhir dari semua tindakan moral. “mengejar moralitas adalah mudah, tetapi untuk mencari pijakan moral dari agama memang sukar” ujar Schopenhauer.
Sebagai homo religious, mahluk agamis dan mahluk fitrah, maka sejarah manusia adalah sejarah agama, yaitu cara-cara indah yang dipergunakan manusia yang berbeda-beda untuk mengikat dan menuju pengetahuan yang lebih benar dan cinta yang lebih mendalam kepada apa yang dipercayainya sebagai Tuhan. Inilah dasar yang menjadi landasan seluruh ajaran yang profan. “dialah sinar jiwa dan kehidupan sejarah dan tanpa dia seluruh sejarah akan benar-benar profan” kata Joachim Wach.
Ramalan akan berlanjutnya konflik antaragama yang semakin sengit, ternyata juga dibayangi oleh harapan yang melegahkan hati, yakni harapan akan suatu masa dimana agama berjalan berjinjing-jinjing mesrah dalam suasana saling menghargai dan menghormati untuk melahirkan ketentraman dan kedamaian di muka bumi. Kita (generasi) sekarang adalah penentu. Apakah kita akan mewarisi sejarah yang berlumuran darah dan berhias ketegangan serta rasa tidak aman atau justru melahirkan peradaban yang bersahaja dan penuh cinta kasih?
Sudah waktunya untuk menyadari, bahwa berapa besar kerugian harta benda dan korban jiwa yang sudah diderita oleh ummat manusia akibat cara pandang keberagamaan yang patologis itu, sungguh tidak terkira jumlahnya. Hati nurani manusia yang beragama di hampir seantero dunia terus menerus melantunkan nyanyian kesedihan dan penyesalan atas segala cara-cara ganas dan perbuatan biadab sebahagian orang-orang yang beragama. Generasi-generasi itu telah berbilang abad mengatasnamakan Tuhan dan agama, mengorbankan hubungan keagamaan penuh kekerasan dan kekejaman yang mewarisi penderitaan, kesengsaraan, dan malapetaka yang menimpa manusia dan kemanusiaan.
Kini kita haus dan dahaga terhadap perdamaian dunia. Kita sudah cukup lama membosani hubungan persengketaan dalam beragama. Martabat dan harkat manusia kontemporer serta budaya dan adab beragama yang sejati bukan diukur dan dinilai dari keberhasilan rampas-merampas kebebasan dan saling berebut dominasi satu sama lain, melaingkan terletak pada dan ditentukan oleh kemampuan umat beragama untuk bersama-sama secara jujur membina hubungan dialogis untuk mewujudkan budaya toleransi. Mustahil mencita-citakan dunia yang damai akan bisa terwujud tanpa ada dialog antara sesama umat beragama dan toleransi keagamaan.
Wallahu a’lam bishawab…
Makassar menjelang matahari terbit, 2011
Dialektika Pandangan terhadap Agama (Refleksi Atas Ironi dan Problematis)
Rabu, 09 Februari 2011 Diposting oleh Jasman al_Mandary di 21.21
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar