Realisme Sosial dan Romatik Revolusioner

Senin, 02 November 2009 0 komentar
Realisme social sesuai dengan namanya adalah realisme yang didasarkan pada tujuan sosialisme. Watak realisme social adalah militansi sebagai ciri tak kenal kompromi dengan lawan. Bukan saja tampak dari militansinya terhadap kapitalisme yang dihadapinya sehari-hari, tapi lebih jauh lagi adalah juga militansinya dalam mempertahankan dan mengembangkan anti kapitalisme internasional. Realism social tak pernah kompromi dengan musuh-musuhnya, karena jika tidak ia akan menyalahi hukum sosialis sendiri. Pada segi lain, watak ini tampak pada semangat yang diberikannya pada rakyat, pengungkapan paedagogik dan sugestif, ajakan dan dorongan untuk lebih tegap dan perwira menegakkan keadilan merata, untuk maju, untuk melawan dan menentang penindasan dan penghisapan serta penjajahan nasional maupun internasional. Bukan saja berdasarkan emosi atau sentimen tapi juga berdasarkan ilmu dan pengetahuan, terutama memberanikan rakyat untuk melakukan orientasi terhadap sejarahnya sendiri. Realisme social selamanya pedoman berjuang karena kemungkinan baru harus direbut. Realitas-realitas yang tak memenuhi zaman bukan saja harus dirombak dan diubah, tapi harus diberikan realitas baru sebagai jawabn atas tantangan zaman. Ia bergerak terus-menerus memperlihatkan kontradiksi-kontradiksi social yang bekerja dalam masyarakat. Pokok pandangan itu merupakan terusan dari filsafat materialisme dalam karya sastra yang dicarik dari pandangan sosialisme ilmiah (materialism-dialektik-historis – MDH). Kemampuan melihat kontradiksi itu membawa pada ketidak bingungan ketika menghadapi kompleksitas masalah dalam masyarakat. Kontradiksi yang dimaksud adalah “kontradiksi structural pundamental” dalam kehidupan social antara kelas pengisap dan terhisap, kelas tertindas dan penindas serta golongan-golongan yang terlibat didalamnya. Realisme social mempertegas pemihakannya atas kelas paling dirugikan dalam struktur dialektika masyarakat.
Tetapi sebagai teori yang berdasarkan MDH sebagaimana diperingatkan penulis Rusia terkemuka Simonov, wajib adanya menghindari dogmatism.
…Kita tidak membutuhkan realisme yang dogmatis, apa yang dibutuhkan adalah realisme social yang berkembang, kreatif, yang diperkaya dengan muatan-muatan baru dan pengertian baru yang menyingkapkan isi tersebut. Kita tak hendak mengijinkan kaum dogmatisme mengubah realisme social menjadi faham yang mati dan akan mengkritik usahan-usaha yang menyeleweng dan menganggap diskursus-diskursus serta perdebatan-perdebatan sehat sebagai realisme social yang runtuh…
Karena itulah realisme social merupakan kelenturan membaca kekinian dan kelampauan, mengambil yang lampai dengan memberi muatan baru dengan pikiran yang progresif dan revolusioner. Revolusioner dalam definisi Nyoto adalah “tidak patah hati dalam menyongsong rintangan, menjumpai kesukaran, mengalami pasang surut bahkan “kekalahan” sementara sekalipun. Wallahu alam…
1-5-1. LEKRA Tafsir Ke 5

APRESIASIWACANA: BUDAYA MODERN (Suatu Analisis Kritis)

0 komentar
APRESIASIWACANA: BUDAYA MODERN (Suatu Analisis Kritis)

BUDAYA MODERN (Suatu Analisis Kritis)

Jumat, 07 Agustus 2009 0 komentar
Jasman al¬mandary-
Larailah kawanku, kedalam keseandirianmu
kulihat kamu jadi tuli,oleh suara riuh orang-orang besar
dan tersengat oleh orang-orang kecil,
Hutan dan karang tahu benar bagaimana jadi membisu bersamamu.
-Setelah Revolusi Tak ada lagi-

Pemberhalaan benda (materialisme), Manusia (humanisme), Kekuasaan (kolonialisme). Modal (kapitalis), Kenikmatan (hedonisme) dan sebagainya merupakan landasan filosofis dan intelektaual bagi minculnya kebudayaan modern. Disisilain revolusi industri yang berdampak pada pola konsumsi dan distribusi adalah landasan historis bagi perkembangan kebudayaan modern pada masa selanjutnya.
Untuk membuktikan bahwa materialisme adalah roh kebudayaan modern, tergambar lewat penolakannya terhadap realitas Ilahiah serta kehadirannya.Dan lantaran kehadiran Ilahi merupakan landasan ontologis bagi spritualitas dan moralitas, maka pengingkaran ini berimplikasi pada peniadaan aspek spritualitas dan moralitasa manusia layaknya robot ataupun binatang yang tanpa perasaan. Humanisme yang berpanjikan “manusia adalah tuhan bagi dirinya” ini tidak bisa dilepaskan dari rangkaian teragedi sepanjang paruh kedua milenium kedua sejarah manusia.
Manakalah semua potensi dipakai untuk memburu kenikmatan yang “disodorkan” pelaku kabudayaan akan kehilangan rasionya. Realaitas taklagi dapat dirajut jadi gubahan yang bermakna, gelombang kebingungan, skeptisisme, sinisisme, dan relativisme pun akan silih berganti menerpa sukmah, maka lenyaplah nilai-nilai idealisme yang berpangkal pada materialisme dan kolonialisme. Teriakan buruh, tangisan petani, keluh-kesah nelayan, bahkan darah kaum tertaindas taklagi mampu menggugah nurani kita bahkan menjadi lahapan istimewa untuk bahan eksploitasi para koruptor.
Dalam keadaan semikiana ini, identitas diri perlahan-lahan akan meleleh. Tak ada nama yang bisa menandai eksistensinya. Dalam ngarai anonimitas yang menakutkan itu, mereka karam dan lenyap. Meminjam ungkapan Martin Hiedegger “Keberadaan mereka lenyap dalam kebisingan” disaat itulah jiwa kita akan mengalami apa yang disebut dengan alienasi (keterasingan dari diri sendiri).
Karakter paling menonjol dari kepribadian maca ini adalah obsesinya untuk mengubah semua “yang ada” menjadi fasilitator hasrat dan angan-angannya. Kedudukan, kekuasaan, dan jabatan tidak dianggap sebagai tanggung jawab

melaingkan sebagai pasilitas untuk memperkaya diri dan keturunan. Korupsi dan nepotisme akan menjadi sarapan pagi yang empuk. Moralitas hanya dianggap mitos yang direkayasa untuk membendung fantasi dan mengurung manusia dalam suatu penjara yang sempit.
Perlawanan atas sebuah tirani adalah keniscayaan hidup,
tidak ada tanggal pasti, tidak akan ada pula parade menjemukan,
tapi kejatuhan atas sebuah tirani akan berakhir rampung,
bukan karena takdir tapi karena kita berjuang.
Didalam rahim materialisme, humanisme dan kapitalisme modern, terkandung kebudayaan massa yang bercirikan, memposisikan pelaku kebudayaan seabagai objek (terobjektivasi), mengalami alienasi dan pembodohan.
Objektivasi berarti manusia adalah mahluk fasif, tidak “berfikir” dan selalu mengandalkan petunjuk-petunjuk empirik untuk merumuskan konsep-konsep hidupnya. Manusia akan mengambil kesimpulan tentang dirinya dari perilaku yang tampak, seperti anggota DPR yang tidak merasa bersaalah menyelewengkan dana taktis setelah mengetahui peristiwa korupsi besar-besaran yang dilakukan ketuannya.
Alienasi artinya pelaku kebudayaan merasa asing dari dan dalam lingkungannya sehingga ia cendrung membri makan benalu penindas dan menciptakan agrasi horisontal (saling menyerang dan menyalahkan sesama orang tertindas karena tidak dapat memenuhi keinginan penindas).
Pembodohan terjadi karena waktu terbuang tanpa ada pelajaran hidup yang berguna yang dapat dipetik. Dalam kata-kata Zohar dan Marshall.
“Kebudayaan modern menghilangkan nilai-nilai kepekaan fundamental, yakni nilai- nilai yang melekat pada bumi dan perubahan musimnya, pada pergantian hari dan perputaran jamnya, pada perkakas hidup dan ritual kesehariannya, pada tubuh dan perubahana organiknya, pada buruh dan buah-buahan hasil tanamannya, pada tahap- tahap kehidupan dan pada nilai- nilai yang menyatu paduh dengan kematian sebagai ending yang alami. Kita hanya bisa melihat, menggunakan dan menghayati apa yang segerah yang terlihat dan pragmatis, kita buta pada tataran- tataran simbol dan makna yang lebih dalam yang dapat menempatkan segenap objek kita, aktivitas kita dan diri kita kedalam kerangka kerja eksistensial yang lebih luas kita memang tidak butah warnah tetapi hampir pasti kita buta makna.”

PLURALISME DALAM ALQURAN : PLURALITAS MANUSIA DALAM KESATUAN NILAI UNIVERSAL KEMANUSIAAN

Rabu, 05 Agustus 2009 0 komentar
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan, hanya kepada Allah kembali kamu semuanya, lalu diberitahu kepadamua apa yang kamu perselisihkan itu (al-Maidah (5) : 48).

Tauhid merupakan doktrin dasar yang paling fundamen dalam ajaran Islam. Seorang muslim, diwajibkan untuk menginternalisasi Tauhid sebagai paradigma (pandangan dunia) dalam mengarungi kehidupan. Selama lebih separuh masa dakwah Rasulullah saw (+ 13 tahun) memfokuskan perjuangannya pada internalisasi Tauhid di masyarakat Arab (Quraisy). Tauhid, bukan sekedar pengakuan atau persaksian bahwa tiada Ilah selain Allah, tapi pemaknaan terhadap Tauhid melampaui dari sekedar pengakuan atas eksistensinya yang tunggal. Jika kita tarik pemaknaan Tauhid dalam ranah realitas ciptaan (makhluk), maka Tauhid berarti adalah pengakuan akan pluralitas atas selain Dia (makhlukNya). Hanya Dia yang tunggal, dan selain Dia adalah plural. Pluralitas adalah bagian dari kehendak Allah, dan Allah menciptakan berbagai variabelnya agar pluralitas tidak mengalami benturan. Oleh karena itu, Tauhid murni adalah meyakini bahwa keesaan hanya milik Allah dan pluralisme adalah prinsip dasar masyarakat.
Bahwa semua umat manusia berbeda adalah fakta yang tak terbantah. Secara fisik dan psikologis tidak ada manusia yang sama persis. Disamping perbedaan ras, suku, bangsa, dan bahasa yang merupakan perbedaan bawaan manusia, terdapat sekian banyak perbedaan perolehan manusia, antara lain dalam gagasan, pengetahuan, pendekatan, prioritas, dan penilaian. Agama merupakan salah satu varian perbedaan manusia, baik dalam ruang bawaan maupun perolehan. Pluralisme merupakan prinsip dasar kehidupan sosial yang diarahkan pada pengakuan akan perbedaan. Dan pengakuan terhadap perbedaan tersebut diarahkan pada terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti kebebasan, koeksistensi damai, egalitarianisme, kasih-sayang, amar ma’ruf-nahy munkar, fastabiqul khaerat, dan keadilan. Seluruh nilai-nilai tersebut bermuara pada nilai kesucian dan kesempurnaan Tuhan sebagai Wujud Mutlak dan modus eksistensi seluruh realitas.
Secara eksplisit Alquran dalam surat 30 : 22 dan 49 ; 13 mengakui pluralitas sebagai sunnatullah dalam kehidupan. Oleh karena itu, secara hakiki pluralisme merupakan suatu kebenaran alamiah, hukum universal, pandangan hidup yang legal, dan rahmat Ilahi. Pluralisme sebagai prinsip dasar sosial sangat jelas dalam wahyu Alquran ketika memperlakukan manusia secara sama. Tidak ada perbedaan dalam warna kulit, bahasa, suku, bangsa dan keturunan semuanya sama di mata hukum.
Alquran juga mengemukakan, bahwa alih-alih merancang suatu sistem masyarakat yang seragam, Allah menakdirkan pluralisme yang abadi dalam hal peradaban, sistem, hukum, pendapat, dan agama. Tujuan pluralitas dalam ciptaan bukanlah untuk mendorong ketidakharmonisan dan perang, melainkan hal ini merupakan tanda dari Tuhan bahwa manusia harus berjuang untuk mempunyai saling pengertian dengan baik. Dan yang terpenting, sebagaimana diisyaratkan oleh Allah dalam surat 5 : 48, tujuan dari penciptaan realitas yang plural adalah agar manusia saling berlomba-lomba untuk berjuang mewujudkan masyarakat utama. Hal ini berarti, bahwa Islam tidak berupaya mengingkari maupun melenyapkan atau memaksa “yang lain” (2 : 256), karena Tuhan menciptakan perbedaan sebagai sarana untuk mendorong perlombaan dalam kebaikan diantara umat manusia Selain itu Allah juga menghendaki jalan tengah sebagaimana ditunjukkan dalam kenyataan bahwa ia menciptakan masyarakat muslim sebagai ummatan washatan, suatu masyrakat (per)tengah(an), masyarakat yang menghindari ekstrimitas.
Alquran telah mencapai puncaknya dalam berbicara soal pluralisme, yaitu ketika menegaskan sikap penerimaan Alquran terhadap agama-agama selain Islam. Alquran dengan sangat jelas menyatakan bahwa Allah menghendaki pluralitas agama dengan berbagai perbedaan yang lahir dari hukum-hukum sosial yang Allah tetapkan bagi masyarakat. Penerimaan Alquran terhadap eksistensi agama lain, bukan hanya sekedar pengakuan terhadap umat agama lain sebagai sesama entitas sosial belaka, sebagaimana umat Islam. Melainkan Alquran, menegaskan jaminan keselamatan eskatologis penganut agama lain selama mereka meyakini eksistensi Allah, eksistensi hari akhir, dan beramal saleh, sebagaimana yang disebutkan dalam surat 2 : 62 dan 5 : 69. Secara implisit, lewat kedua ayat tersebut, Allah ingin mengatakan bahwa semua agama juga mengimani adanya Allah dan hari akhir, serta pengakuan bahwa semua agama menganjurkan untuk beramal saleh.
Sayyed Ali Khamene’I (pemimpin spiritual Iran) dalam pertemuan agama-agama di Teheran mengatakan, semua agama menganggap keselamatan dan kesejahteraan umat manusia sebagai tujuannya. Setiap agama menampilkan “program Tuhan” kepada umat manusia sesuai dengan tuntutan zaman, ruang, dan kapasitas umatnya. Perjuangan dan jerih payah yang dilakukan oleh pembawa risalah agama dan pengikutnya tak lain ditujukan untuk keselamatan umat manusia dan demi jalan Tuhan. Agama-agama Tuhan tidak hanya menghendaki keselamatan umat tertentu, masa tertentu, dan kawasan tertentu saja. Melainkan agama Tuhan menghendaki keselamatan universal untuk semua manusia, lepas dari sekat ruang, waktu, maupun golongan tertentu.
Disatu sisi manusia pasti berbeda, namun di sisi lain umat manusia secara keseluruhan adalah satu kesatuan yang secara substansial memiliki fitrah yang sama, dan menuju pada cita ideal dan nilai universal yang sama pula. Pluralisme membuka ruang terhadap penerimaan realitas yang plural, namun di sisi lain pengakuan pluralitas realitas meniscayakan pengakuan bahwa realitas tersebut mendasarkan dirinya pada kesamaan nilai dan tujuan kemanusiaan yang mengikat semua manusia, terlepas dari apa pun identitasnya yang berbeda, baik bawaan maupun perolehan.
Pluralisme adalah bentuk kelembagaan di mana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau umat manusia secara keseluruhan. Secara praksis, makna pluralisme lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Pluralisme di satu sisi mensyaratkan ukuran-ukuran kelembagaan dan legal yang melindungi dan mensahkan kesetaraan dan mengembangkan rasa persaudaraan diantara sesama manusia sebagai pribadi atau kelompok. Pluralisme menuntut suatu pendekatan yang serius dalam upaya memahami pihak lain dan kerjasama yang yang membangun untuk kebaikan semua. Pluralisme juga berarti bahwa kelompok-kelompok minoritas dapat berperan serta secara penuh dan setara dengan kelompok mayoritas di dalam masyarakat, sembari mempertahankan perbedaan dan identitas mereka yang khas.
Pluralisme mensyaratkan pengetehuan dan pengertian akan keragaman manusia (49 : 13). Dengan demikian tumbuhnya saling pengertian akan melahirkan penghargaan yang timbal balik, mencegah kecurigaan, sehingga memunculkan keterikatan moral dan membantu terpeliharanya keadilan. Keterikatan moral pada keadilan adalah hal yang mendasar untuk terwujudnya keadilan yang merata diantara semua manusia. Alquran memerintahkan untuk berbuat adil tanpa memandang perbedaan atau diskriminasi golongan (4 : 135), karena keadilan adalah hak semua manusia, dan hal ini hanya akan terwujud jika pluralisme diinternalisasi sebagai pandangan dan sikap hidup bermasyarakat.
Alquran memang menyatakan bahwa kebenaran dan jalan keselamatan adalah satu, karena berasal dari Yang Satu. Namun pengakuan akan ketunggalan kebenaran dan jalan keselamatan tidak meniscayakan pengingkaran terhadap keragaman pengetahuan, pemaknaan, gagasan, tanggapan, penilaian, dan praktek sebagai perolehan manusia dari kebenaran yang tunggal tersebut. Kebenaran dan jalan keselamatan yang tunggal menjadi plural setelah dipersepsi dan diinterpretasi oleh kerangka pemikiran manusia yang berbeda. Allah dalam Alquran sebagai pemilik kebenaran tunggal tersebut membuka ruang terhadap keragaman tersebut, dan bahkan dengan tegas menyatakan bahwa keragaman tersebut merupakan “bagian dari kehendakNya” (5 : 48.).
Sekalipun Alquran mengisyaratkan pluralisme sebagai sebuah kemestian hidup, namun Alquran sangat tegas menekankan nilai-nilai universal kemanusiaan sebagai fondasi hidup bermasyarakat. Dalam Alquran tidak ada pluralisme atau ruang bagi pemahaman atau tindakan yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan tersebut, seperti kezaliman, kemunkaran dan penindasan.
...allahua'lam...

Dari Pluralitas Eksoterik Menuju Kesatuan Esoterik (Diskursus Pluralisme dalam Tinjauan Filsafat Perennial)

0 komentar
Jasman al-Mandary
(KETUA UMUM HIPERMAJU)

"Lampu-lampu adalah berbeda, namun cahaya tetaplah sama” (Maulana Jalal al-Din Rumi)

A. Mukaddimah

Sejarah agama-agama di dunia penuh dengan sejarah kelam yang dihiasi dengan berbagai tragika historis atas nama Tuhan. Sakralitas ajaran transenden “dipelintir” dan dipolitisir demi sebuah ambisi kelompok yang diwujudkan dalam bentuk pemberangusan dan pembasmian mereka yang dianggap menyimpang. Inkuisisi, mihnah, dan berbagai tragika sejarah telah menelan korban sekian banyak nyawa manusia hanya karena “satu dosa” menyimpang dari tradisi agama yang dimapankan.
Pola keberagamaan yang ekstrinsik melahirkan sikap keberagamaan eksklusif dan memandang “yang lain” sebagai entitas yang berbeda dan bahkan menyimpang. Karena kejumudan berpikir, agama hanya dipandang dari sisi lahir (eksoterik), dan bahkan sampai pada titik ekstrim agama diidentikkan dengan prilaku-prilaku dan simbolitas eksoteris semata. Dan menafikan sisi esoteris (batin) dari agama yang pada dasarnya merupakan jantung (inti sari) dari agama.
Pluralisme yang diwujudkan dengan sikap toleran, menghargai, membuka ruang dialog dan kerjasama dalam rangka membangun tatanan kemanusiaan yang harmonis akan menjadi mustahil jika agama hanya dipandang dari perspektif eksoteris belaka. Oleh karena itu, filsafat perennial memberikan sebuah pendekatan baru dalam mewujudkan pluralisme di kalangan umat beragama. Yaitu dengan menwarakan pendekatan transhistoris-metafisis untuk memahami kesatuan agama-agama pada ranah esoterik.

B. Selayang Pandang Filsafat Perennial

Istilah perennial berasal dari bahasa Latin, yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris yang berarti kekal, abadi. Berbeda dengan filsafat rasionalis murni, filsafat perennial mendasarkan pengetahuan, keyakinan, dan kecintaan terhadap Tuhan sebagai fondasi bagi pengembangan filsafatnya. Diduga pertama kali istilah filsafat perennial pertama kali diperkenalkan oleh Agustino Steuco (1490-1548), lalu kemudian disebutkan juga oleh Leibniz. Jauh sebelum Steuco, di dunia Timur telah dikenal istilah yang serupa dengan istilah filsafat perennia, yaitu istilah “sanatana dharma” di dunia Hindu, serta dalam sejarah pemikiran Islam “al-Hikmah al-Khalidah” (kebijaksanaan abadi) yang merupakan judul buku dari Ibnu Maskawaih (932-1030). Selanjutnya di abad ke 20 filsafat perennial “dihidupkan” kembali oleh beberapa pemikir kontemporer, seperti Aldoux Huxley, Charles B. Schmitt, dan Huston Smith. Sedangkan di dunia pemikiran Islam kontemporer wacana filsafat perennial dikembangkan, khususnya oleh Sayyed Husein Nasr dan Fritjouf Schoun (Muhammad Isa Nuruddin).
Filsafat perennial atau yang disebut dengan kebijaksanaan universal karena beberapa alasan yang kompleks, secara berangsur-angsur runtuh menjelang akhir abad ke 16 atau awal masuknya zaman renaisance. Itulah sebabnya Emanuel Wora menyebut filsafat perenial sebagai filsafat “yang terlupakan”. Salah satu alasan yang paling dominan dari runtuhnya filsafat perennial adalah perkembangan yang pesat dari filsafat materialis. Filsafat materialis yang menjadi dasar filosofis modernisme telah merubah secara radikal paradigma hidup dan pemikiran masyarakat. Berbeda dengan filsafat perenial yang memandang alams emesta sebagai satu kesluruhan yang tunggal, yang diresapi oleh suatu realitas transenden, dan yang menemukan penjelasannya dalam realitas transenden tersebut. Filsafat materialis memandang bahwa alam semesta didasarkan pada prinsip dan pola yang mekanistik. Oleh karena itu, filsafat materialis sama sekali tidak memberikan tempat bagi realitas transenden yang justru menurut pandangan filsafat perennial menjadi “inti” dari realitas. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, di mana modernisme sampai pada klimaks dan manusia tiba pada “titik jenuh” dari kehidupan yang serba materi dan fana. Kerinduan manusia akan sisi primordialnya akan “memanggil” manusia untuk “menggapai” alam transenden yang abadi. Dan filsafat perennial adalah salah satu jawabannya. Oleh karena itu, ada yang meramalkan hari ini merupakan zaman kebangkitan kembali dari filsafat perennial yang telah “terkubur” selama berabad-abad.
Filsafat perennial, setidaknya dapat didekati dengan tiga sudut pandang, yaitu epistemologis, ontologis, dan psikologis. Secara epistemologis, filsafat perennial membahas makna, substansi, dan sumber kebenaran agama serta bagaimana kebenaran itu berproses “mengalir” dari Tuhan Yang Absolut dan kemudian tampil dalam kesadaran akal budi manusia serta mengambil bentuk dalam tradisi keagamaan yang menyejarah. Sedang dari pendekatan ontologis, filsafat perennial berusaha menjelaskan adanya sumber dari segala yang ada (wujud qua wujud), bahwa segala wujud ini hanyalah nisbi, realitas alam tak lebih dari sekedar jejak, kreasi, maupun cerminan dari Dia (theophany). Sedangkan melalui pendekatan psikologis, filsafat perennial berusaha mengungkapkan apa yang disebut sebagai “wahyu batiniah”, “kebenaran abadi”, atau “sophia perennis” yang terukir di dalam lembaran hati seseorang yang paling dalam yang senantiasa rindu pada Tuhan dan senantiasa mendorong seseorang untuk berpikir dan berprilaku benar. Dengan kata lain, secara psikologis filsafat perennial meyakini pandangan bahwa dalam setiap diri manusia terdapat “atman” yang merupakan pancaran dari “Brahman”.

C. Agama : Antara Dimensi Eksoterik dan Esoterik

Dalam pandangan filsafat perennial, agama terbagi menjadi dua, yaitu dimensi eksoteris dan dimensi esoteris. Dimensi eksoteris agama berkenaan dengan hal-hal yang bersifat lahiriyah, seperti ibadah-ibadah ritual atau syari'at maupun penafsiran literer dari teks suci. Sedangkan dimensi esoteris agama berkenaan dengan realitas batin dari agama yang "keberadaannnya" "berada" di balik dimensi eksoteris dari agama.
Di kalangan penganut agama, termasuk diantaranya Islam, dua dimensi agama tersebut sering dipertentangkan dan diletakkan secara dikotomistik. Hasilnya adalah munculnya kaum skriptualis atau zahiri sebagai kelompok yang lebih menekankan sisi eksosterisme dan cenderung menafikan sisi esoterisme. Sebaliknya, muncul pula kalangan asketik atau batini yang hanya mengejar dimensi esoteris dan melalaikan dimensi eksoteris dari agama. Kalangan zahiri menyebut kalangan batini dengan sebutan syirik dan ghulaw (berlebihan) sedangkan kalangan batini menganggap kalangan zahiri mengalami "kekeringan" spiritual.
Pada dasarnya kedua hal tersebut bukanlah dua hal yang mesti dipertentangkan atau diposisikan secara binerian, sehingga dengan mengakui yang satu meniscyakan penafian terhadap yang lainnya. Keduanya adalah dimensi yang tak terpisahkan dari agama. Eksoterisme adalah "kulit terluar" yang mesti "ditembus" oleh manusia untuk mencapai dimensi esoteris yang merupakan "inti' dari agama. Mencapai dimensi esoterisme hanya bisa dilakukan melalui jalan eksoteris, dan penempuhan jalan eksoterisme akan menjadi sia-sia jika tak mampu mengantarkan kita pada dimensi esoteris. Antara dimensi eksoterisme dan esoterisme dalam agama memiliki hubungan simbiotik yang saling "melekat". Menganggap keduanya saling berkaitan dan tak terpisahkan merupakan cara pandang yang memandang agama dalam perspektif yang universal dan holistik. Namun, perbedaan pada ranah eksoterik semuanya menuju pada tujuan yang sama, yaitu dimensi esoteris, di mana pada ranah tersebut tidak ada lagi partikularitas dan pluralitas dan yang ada hanya universalitas dan ketunggalan.
Mistisisme sebagai dimensi tersembunyi dari alam semesta dan diri manusia dan esoterisme sebagai inti terdalam dari agama merupakan dua hal yang sama. Mistisisme merupakan dimensi misteri yang mesti disingkap dan jalan yang mesti ditempuh untuk mencapai proses kesempurnaan diri. Banyak diantara para rohaniawan agama yang telah menghabiskan waktu hidupnya untuk berproses menyingkap misteri mistik dan menjalani kehidupan alam mistikal dengan berbasis kekuatan jiwa (akal dan intuisi) dengan berpedoman pada ajaran agama. Dengan menyingkap misteri mistik (esoteris) dari agama maka kita akan tiba pada satu kesimpulan akan kesatuan agama-agama (wahdah al-adyan) pada wilayah esoteris, kendati berbeda pada ranah eksoteris.

D. Prinsip-prinsip Dasar Pluralisme Agama dalam Tinjauan Esoterisme Agama (Dari Pluralitas Menuju Kesatuan)

Dalam membangun konsep pluralisme agama, filsafat perennial mendasarkan pandangannya pada kesatuan dan universalitas esoterik dari semua agama dan ajaran spiritual. Kesatuan universal esoterik tersebut menurut Hazrat Inayat Khan, didasarkan pada sepuluh prinsip fundamen dari seluruh ajaran esoterik agama.Kesepuluh prinsip dasar tersebut menggambarkan secara universal dan prinsipil dari dimensi esoteris alam dan manusia. Dari kesepuluh prinsip esoterik tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa semua agama pada dasarnya mengalami keberangkatan yang berbeda (plural) pada ranah eksoterik menuju kesatuan dalam keabadian universal esoterik.

1. Hanya ada satu Tuhan, abadi, satu-satunya Wujud, tak ada yang eksis kecuali Dia.

Bagi kaum esoterik (mistikus atau sufi), Tuhan adalah sumber dan tujuan dari segalanya, dan "segalanya adalah Tuhan". "Tuhan adalah setiap hal dari segala" (Tuhan sebagai modes existence). Meskipun pada waktu yang bersamaan, dari sudut pandang yang lain, setiap sesuatu "tidak berarti apa pun". Karena keterbatasan akalnya, manusia tak dapat memahami Tuhan sepenuhnya. Yang dapat dilakukan adalah membentuk konsepsi tentang Tuhan bagi dirinya sendiri agar dapat membuat sesuatu yang dapat dipahami dari hal yang tidak terbatas. Tuhan adalah Realitas Sejati (yang nyata), Tugas kehidupan spiritual adalah menjadikan Tuhan sebagai realitas sejati, sehingga bukan semata-mata imajinasi. Hubungan yang terjalin antara manusia dengan Tuhan adalah lebih nyata jika dibandingkan hubungan–hubungan manusia yang lain dengan segala sesuatu yang ada di dunia.
Sesungguhnya pandangan dan gagasan tentang Tuhan adalah sebuah jembatan yang menghubungkan kehidupan yang terbatas dengan realitas yang tak terbatas. Siapa pun yang melewati jembatan ini akan selamat melewati kehidupan yang terbatas menuju kehidupan yang tidak terbatas. Gagasan tentang Tuhan atau pikiran ketuhanan adalah kedalaman kehidupan, kedalaman aktivitas yang kepadaNya seluruh dan setiap aktivitas dihubungkan.
Berbeda dengan kaum eksoterik yang “membatasi Tuhan” hanya dalam doktrin teologinya semata, Kaum esoterik berpandangan, bahwa Tuhan yang ia yakini adalah Tuhan dari setiap keyakinan, dan Tuhan dari semua makhluk, tanpa dibatasi oleh sekat-sekat pemahaman teologis. Meskipun realitasNya hanya satu, tapi ia disebut dengan banyak nama. Allah, Tuhan, God, Gott, Khuda, Brahma, Baghwan, semua nama ini adalah namaNya. Namun, sesungguhnya dia berada di luar batasan nama. Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, kaum esoterik memandang Tuhan adalah "setiap hal dari segala". Kaum esoterik melihat Tuhan di matahari, api, patung, yang disembah sekte-sekte yang berbeda-beda., dan mereka mengenalNya dalam segala bentuk semesta. Tuhan adalah yang lahir dan yang batin, satu-satunya Wujud, Tuhannya kaum esoterik bukan semata-mata keyakinan religius, tetapi juga cita-cita tertinggi yang dapat dibayangkan dan dijangkau oleh manusia.

2. Hanya ada satu guru, pembimbing semua jiwa yang senantiasa membawa pengikutnya menuju cahaya.

Kaum esoteris memahami, bahwa kendati Tuhan adalah sumber segala pengetahuan, inspirasi dan biumbingan. Namun, manusia adalah sarana yang dipilih oleh Tuhan untuk menanamkan pengetahuan, sebagaimana Adam diajar oleh Tuhan perihal nama-nama segala sesuatu yang tidak diketahui oleh seluruh penghuni langit. Dia memberikan kepada seorang manusia yang memiliki kesadaran tentang Tuhan. Orang ini berjiwa matang yang mendapatkan berkah dari surga. Dalam sejarah panjang manusia, Tuhan telah mengutus manusia-manusia pilihan untuk ditugaskan menjadi pembimbing hidup bagi sekalian manusia Dengan kata lain para pembimbing manusia ini adalah manusia pilihan, atau nabi yang muncul dalam berbagai bentuk yanng berbeda-beda. Zoroaster, Lao Tze, Kong Hu Cu, Budha, Rama, dan Kreshna (atau mungkin juga Sawerigading) di satu sisi dan Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad di sisi lain, dan masih banyak lagi yang tidak diketahui oleh sejarah.
Sebenarnya guru sejati bagi kaum esoteris hanya satu, yang disebut dengan gelar kalki autar, “anak Tuhan”, insan kamil, atau berbagai gelar lainnya. Namun, dalam sejarah panjang manusia namanya berbeda-beda dan dia selalu datang untuk membangunkan kemanusiaan dari kesuraman ilusi dan membimbing manusia menuju kesempurnaan. Setiap mereka "bangkit" dari manusia di zaman dan di tempatnya, untuk mengembalikan kesadaran manusia di zamannya yang mulai hilang. Mereka berbahasa dengan bahasa kaumnya dengan risalah dan bimbingan yang dibutuhkan oleh kaumnya.
Perbedaan dikalangan “guru-guru esoterik” tersebut hanyalah pada perbedaan momen dan bahasa yang digunakan, serta nama mereka yang tampil berbeda-beda. Namun, pada intinya risalah mereka berasal dari Yang Satu, dengan kata lain manusia-manusia pilihannya tersebut adalah khalifah Allah di muka bumi yang mewakili setiap zaman dan tempat. Kaum esoterik menyaksikan sisi Ilahi atau Ketuhanan dalam imanensiNya yang maujud di alam semesta, dan baginya kehidupan menjadi penyingkapan sempurna lahir dan batin. Pada saat kita berusaha untuk membangkitkan potensialitas roh bimbingan dalam diri kita, maka kita akan menemukannnya dalam wujud Bodhi satva, guru-guru spiritual, para rasul atau para imam. Roh bimbingan itu akan selalu ada dan dengan cara inilah pesan Tuhan akan disampaikan dari masa ke masa.
Seringkali yang menyebabkan pertengkaran serta peperangan di antara manusia adalah kebergantungan pada guru-guru tertentu (mengakui sebagian dan menolak sebagian yang lain). Masing-masing mereka mengklaim guru yang satu lebih superior ketimbang yang lain dan merendahkan guru-guru yang lain yang dihormati oleh orang-orang yang dari bukan golongannya. Pembeda-bedaan seperti ini tentu saja sama dengan membeda-bedakan manifestasi-manifestasi Ilahi dalam wujud bimbinganNya. Pada dasarnya guru atau mursyid kita hanyalah media atau guide yang mengantarkan kita pada JalanNya, sedangkan guru atau mursyid yang lain juga sama pembimbing bagi orang lain di tempat dan waktu yang berbeda dengan kita. Dan oleh karena itu, klaim superioritas guru kita dengan menafikan guru-guru spiritual yang lain bertentangan dengan ajaran esoterik yang memandang bahwa risalah kebenaran itu satu tanpa mesti membeda-bedakannya.

3. Hanya ada satu kitab suci, manuskrip alam yang sakral, satu-satunya teks suci yang dapat mencerahkan pembacanya.

Kebanyakan orang menganggap, bahwa kitab suci hanyalah buku atau gulungan tulisan tertentu yang ditulis oleh manusia, dan dijaga secara hati-hati sebagai benda suci, diwariskan kepada anak cucu sebagai wahyu Ilahi. Manusia telah sering berperang dan bertikai hanya karena memperselisihkan kitab-kitab ini. Mengakui kitab sucinya dan menolak kitab suci lainnya dan terpecah dalam berbagai agama dan sekte yang saling mengklaim kebenaran tunggal. Dalam pandangan Inayat Khan, para guru sufi (kaum esoterik) telah menghormati semua kitab suci, dan menemukan kebenaran yang sama. Semua kitab suci di hadapan manusrip alam semesta seperti kolam kecil di hadapan lautan.
Bagi mata para penyaksi kebenaran, setiap helai daun adalah sebuah halaman dari sebuah kitab suci yang memuat wahyu Ilahi, dan setiap saat dalam hidupnya dia terilhami oleh pemahaman dari kitab suci semesta ini. Ketika mata jiwa terbuka dan pandangan dipertajam, maka kaum esoterik dapat membaca hukum Ilahi di dalam manuskrip alam. Dan mereka mendapatkan apa-apa yang diajarkan oleh guru-guru kemanusiaan dari sumber yang sama. Mereka mengekspresikan sesuatu yang terekspresikan oleh kata-kata, dan karena itu mereka menjaga kebanaran batin ketika mereka sendiri tak lagi mengungkapkannya.

4. Hanya ada satu agama, jalan kebenaran yang kokoh menuju cita-cita yang memenuhi tujuan hidup setiap jiwa.

Kaum esoterik memiliki toleransi yang besar dan membolehkan setiap orang untuk menempuh jalannya sendiri-sendiri. Mereka tidak membandingkan prinsip orang lain dengan prinsipnya sendiri, tetapi ia membiarkan orang berpikir bebas, karena ia adalah seorang pemikir bebas. Agama dalam konsepsi kaum esoterik adalah jalan yang mengantarkan manusia menuju kepada pencapaian cita-citanya di dunia dan akherat. Karena itu kaum esoterik tidak memperhatikan nama agama dan tempat ia beribadah. Dan semua agama menyampaikan agama jiwanya yangn universal, "aku melihat Engkau di Ka'bah suci dan di kuil berhala kulihat Engkau juga”.
Agama mungkin dimulai di Timur atau di Barat, di Selatan atau di Utara, atau bahkan mungkin di mana saja. Namun, semakin kita berpikir bahwa semua itu berasal dari Yang Satu, menjadi bukti bahwa semua itu adalah ungkapan-ungkapan atas satu agama. Dan agama yang satu itu adalah agama alamiah, yaitu ruh yang menyeluruh dari semua agama. Esoterisme adalah agama hati, agama yang padanya, hal utamanya adalah "mencari Tuhan di dalam hati". Kaum esoterik tidak lagi mempersoalkan apa agama yang dijadikan media, ibadah seperti apa yang dilakukan, dan di tempat ibadah mana dilakukan. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana "ketulusan seseorang dalam melakukannya". Hingga akhirnya agama apa pun dapat menjadi tuntunan, ibadah bagaimana pun yang dilakukan di tempat mana pun akan dapat menjadi sarana, bagi pencapaian Tuhan dalam hati manusia. Karena sebagaimana kata Sang Yesus, "Kerajaan Bapa ada dalam hatimu", dan Hadis Nabi saw, "Tuhan bersemayam di hati-hati kaum mukminin". Mesjid, gereja, sinagog, ataupun kuil hanyalah tempat. Shalat, misa, kebaktian, atau sembahyang hanyalah media yang mengantarkan manusia "lepas" dan kemudian "menyelam" menembus dasar hatinya untuk bertemu dengan Tuhan.

5. Hanya ada satu hukum, hukum timbal balik yang dapat dilihat oleh kesadaran yang tidak egois, dan rasa keadilan yang terbangkitkan

Hukum resiprositas atau timbal-balik adalah hukum yang menyelematkan manusia dari ancaman kekuatan yang sangat besar, rasa keadilan dibangkitkan dalam pikiran yang tenang, bebas dari indoktrinasi atau mabuk kekuatan, kekuasaan, harta, atau status sosial. Intinya bagaimana hukum yang mengantarkan manusia pada harmonisasi kehidupan. Kendati agama-agama berbeda dalam ajaran tentang bagaimana manusia mesti berbuat secara harmonis dan damai dengan sesamanya. Berbeda-beda dalam penetapan hukum, namun sesungguhnya semuanya bertemu dalam satu kebenaran, "berbuatlah kepada orang lain, sebagaimana engkau ingin orang lain berbuat terhadap dirimu sendiri".
Resiprositas hukum dan kesadaran dalam ajaran esoterisme. Esoterisme mengarahkan kita pada kedewasaan untuk terbiasa pada berbagai sudut pandang individu. Namun, bukan berarti esoterisme tidak mengindahkan sudut pandang individu. Ia menekankan pentingnya kesadaran, bahwa pandangan kita hanyalah satu sudut pandang belaka dan bahwa kita mesti belajar memandang segala sesuatu dari semua sudut. Spiritualitas menggali perspektif yang lebih semakin luas. Membiarkan diri kita terkungkung dalam sudut pandang sempit kita sendiri tidak akan membawa kita kemana-mana kecuali berputar-putar dalam lingkaran, "bagaikan seekor lalat dalam botol, yang tak dapat keluar". Intinya dalam ajaran esoteriklah manusia dapat membangun harmonisasi kehidupan, untuk itu diperlukan kesamaan pandangan dan kesadaran dalam wilayah fondasional hukum yang tidak memihak pada salah satu sudut pandang saja.

6. Hanya ada satu persaudaraan, persaudaraan manusia yang menyatukan anak-anak bumi "dalam diri" Tuhan

Alam semesta, termasuk diantaranya manusia, berasal dari ledakan besar yaitu ledakan primordial yang luar biasa dari cahaya yang akhirnya terkristal dalam wujud materi. Kaum esoterik memahami bahwa hidup yang memancar dari wujud batin dimanifestasikan ke permukaan dalam bentuk beragam, dan dalam dunia ini manusia adalah manifestasi yang terbaik, karena dalam evolusinya, dia dapat merealisasikan kesatuan wujud ini, bahkan dalam keragaman eksistensi eksternalnya sekalipun. Tetapi ia mencapai tujuan ini yang merupakan satu-satunya tujuan kedatangannya di dunia melalui penyatuan dirinya dengan orang lain. Oleh karena itu, kaum esoterik menyadari kesatuan universal manusia, mereka membebaskan diri dari batas-batas kebangsaan, rasial, dan agama, menyatukan diri dalam persaudaraan manusia yang bebas dari perbedaan status, kelas, keyakinan, ras, bangsa, atau agama, dan menyatukan manusia dalam persaudaraan universal.
Persaudaraan universal tersebut di dasari oleh kesamaan primordial seluruh manusia, sebagai "bagian utama" dari "diri Tuhan". Menurut Inayat Khan, persaudaraan bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari dan diajarkan (secara konsepsional), Persaudaraan adalah suatu kecendrungan yang muncul dari hati, yang ditala dengan tangga nada yang tepat.


7. Hanya ada satu moral, yakni cinta yang memancar dari penolakan diri dan merekah dalam prilaku kebajikan

Ada prinsip-prinsip moral yang diajarkan kepada manusia dari bermacam-macam guru dan tradisi yang bermacam-macam dan berbeda satu dengan yang lain. Ada banyak prinsip moral, seperti tetesan-tetesan air yang jatuh dari satu sumber, tetapi hanya ada satu aliran yang berada pada sumber dari segalanya. Dan itu adalah cinta yang memberikan harapan, melahirkan kesabaran, keteguhan, kemurahan hati, toleransi, dan melahirkan semua prinsip moral. Semua perbuatan baik berasal dari tanah cinta hati dan memancar dari cahaya cinta.
Dalam the Heart of Sufism, Inayat Khan menyebukan ada tiga tingkatan moral yang ada pada manusia. Tingkatan pertama adalah moral pertukaran. Yaitu yang dialami oleh seseorang yang menganggap dan melihat perbedaan antara dirinya dan orang lain. Tingkatan moral yang kedua adalah moral keuntungan. Di mana sebagaimana moral pertukaran, manusia mengenal dirinya sebagai entitas yang terpisah dari orang lain dan mengenal orang lain sebagai entitas yang lain. Meskipun demikian, ia melihat tali penghubung yang menghubungkan antara dirinya dengan semua yang lain. Agar bisa memiliki gema kebaikan bagi dirinya, ia memberikan kebaikan untuk kebaikan, dan membalas kebaikan untuk kejahatan. Tingkat ketiga dari hukum moral ada tingkat moral penyerahan. Yaitu ketika perbedaan antara 'milikku" dan "milikmu" dan keterpisahan antara "saya" dan "kamu" menghilang dalam satu realisasi kehidupan. Orang yang telah mencapai tingkat moral penyerahan secara ontologis tidak lagi melihat keterpisahan antara dirinya dengan yang lain, melainkan melihat kesatuan kemanusian dalam Wujud TunggalNya, inilah tingkat moral kaum esoterik.

8. Hanya ada satu objek pujian, keindahan yang mengangkat hati hamba melalui semua aspek, dari yang terlihat menuju yang tak terlihat

Dikatakan. Dalam sebuah hadis bahwa, "Allah itu Indah dan menyukai keindahan". Hadis ini mengekspresikan kebenaran bahwa manusia, yang menerima ruh Tuhan, memiliki keindahan dalam dirinya dan mencintai keindahan, kendati keindahan bagi seseorang belum tentu indah bagi orang lain. Manusia menanamkan rasa keindahan ini saat dia tumbuh, dan menyukai aspek keindahan yang lebih tinggi ketimbang yang rendah. Tetap ketika ia menyaksikan visi tertinggi dari keindahan, yakni yang Maha Gaib melalui evolusi bertahap dari keindahan di dunia yanng tampak, maka seluruh eksistensi menjadi satu visi keindahan tunggal bagi dirinya. Dengan menyadari hal tersebut, kaum esoterik memuja keindahan dalam segala aspeknya. Keindahan yang sejati terletak pada dimensi noumenal yang "berada" di balik sisi fenomenal yang kita cerap oleh indera. Fenomena estetis yang empirik hanyalah sarana bagi jiwa kita untuk mampu "menangkap" gejala keindahan yang luar biasa di balik penampakan empirikal tersebut.
Gerakan alam semesta dari sudut pandang esoteris menjadikan musik sebagai awal dan akhir dari seluruh ritme alam semesta. Perbuatan dan gerakan yang dibuat di dunia yang fenomenal maupun noumenal bersifat musikal. Mereka terdiri dari berbagai vibrasi yang menyinggung bidang eksistensi tertentu. Demikian pula dalam ritme gerakan dan alunan pujian yang dilakukan oleh kaum esoterik untuk memuja Sang Kekasih merupakan alunan musikal yang membentuk ritme syahdu yang mengantarkan jiwa sang sufi untuk lebur dalam alunan ritme kesemestaan yang berporos (berawal dan berakhir) pada Sang Realitas Pemilik Keindahan. Bagi para sufi kebenaran, kebaikan, dan keindahan adalah karakter dasar dari diri kosmik universal. Yang dari ketiga hal ini melahirkan keharmonisan alam semesta.

9. Hanya ada satu kebenaran, pengetahuan sejati tentang wujud kita, di dalam dan di luar, yang merupakan esensi dari segala kebijaksanaan

Rasulullah saw menyatakan, "Kenalilah dirimu, maka kamu akan mengenal Tuhanmu". Pengenalan tentang diri merupakan pengetahuan yang berkembang "di dalam" pengetahuan Allah. Pengetahuan tentang diri menjawab permasalahan-permasalahan seperti, darimana saya? Apakah saya menjadi eksis sebelum saya menjadi sadar tentang eksistensi saya sekarang? jika saya eksis seperti apakah saya?. Pengetahuan tentang diri juga mengajarkan tentang persoalan seputar tujuan apa yang harus kita penuhi? Dan bagaimana mencapai tujuan tersebut?.
Kaum esoterik mengakui pengetahuan diri sebagai esensi agama, ia menemukannya dalam setiap agama, dia melihat kebenaran yang sama dalam setiap agama dan karena itu menganggapnya satu. Karenanya para sufi menyadari perkataan Yesus, "Aku dan Bapaku adalah satu". Walau begitu perbedaan antara makhluk dan pencipta tetap ada, meski secara hakekat tidak inilah yang dimaksud dengan “persatuan dengan Tuhan”. Persatuan ini adalah dalam realitas "kelenyapan' (fana') diri palsu dalam pengetahuan tentang diri yang sejati, yang bersifat Ilahiyah, kekal, dan meliputi.
Pengetahuan yang mendasar tentang diri kita awal dari seluruh kebijaksanaan dalam tindakan hidup kita. Karena dengan mengenal diri kita yang sebenarnya, maka kita akan mengenal hakekat tujuan hidup kita dan cara-cara pencapaiannya. Dalam sejarah perjalanan intelektual manusia, yang paling sering ditekankan oleh para tokoh baik dari Timur maupun Barat, mulai dari Lao Tze, Kresna, hingga Socrates, Isa, dan Muhammad saw adalah pengenalan diri sebagai fondasi dalam pencapaian kebermaknaan, keharmoniasan, dan kebahagiaan hidup.

10. Hanya ada satu jalan, pelenyapan ego palsu ke dalam ego sejati, yang mengangkat ego yang fana' menuju keabadian, tempat segala kesempurnaan

Semua orang yang menyadari rahasia hidup akan memahami bahwa hidup itu adalah satu, namun memuat dua aspek. Pertama, imortal, meliputi, dan hening dan yang kedua adalah mortal, aktif dan maujud dalam keragaman. Keberadaan jiwa dari aspek pertama menjadi tertipu, tak berdaya dan terperangkap dalam pengalaman hidup yang bersentuhan dengan pikiran dan tubuh. Angan-angan akan membuat manusia tak berdaya, terperangkap, dan teralienasi. Ini adalah tragedi kehidupan yang membuat manusia dari berbagai kalangan akan terus menerus dilanda kekecewaaan dan terus menerus mencari sesuatu yang tidak ia ketahui.
Fenomena keterasingan, ketakberdayaan, dan ketakbermaknaan hidup yang telah menghinggapi hampir seluruh manusia yang larut dalam gemuruh ego hawa nafsunya, membuat kaum esoterik yang mengetahui akan dirinya mengambil jalan lain. Para sufi karena menyadari hal ini kemudian mengambil jalan fana' dan dengan bimbingan guru (mursyid) menemukan akhir dari perjalanannya yang sesungguhnya adalah tujuan finalnya. Seperti dikatakan oleh Iqbal, "Aku mengembara mencari diriku sendiri, akulah pengembara dan akulah tujuan".

E. Membangun Konsepsi Pluralisme yang Perennial menuju Tatanan Kemanusiaan Yang Ideal

Menurut Jalaluddin Rakhmat, pada suatu kesempatan diskusi tentang pluralisme di Makassar, defenisi generik dari pluralisme meyakini bahwa umat agama lain juga berhak untuk mendapatkan keselamtan eskatologis, atau dalam istilah John Hick disebut sebagai pluralisme soteriologis. Sedangkan Muhammad Fathi Osman mengatakan, pluralisme adalah suatu bentuk kelembagaan di mana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan. Makna pluralisme lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Di satu sisi, pluralisme mensyaratkan ukuran-ukuran kelembagaan dan legal yang melindungi dan mensyahkan kesetaraan dan mengembangkan rasa persaudaraan di antara manusia, baik sebagai pribadi maupun kelompok. Pluralisme menuntut suatu pendekatan yang amat serius terhadap upaya untuk memahami pihak lain dan kerjasama yang membangun untuk kebaikan semua.
Filsafat perennial memberikan suatu pendekatan lain untuk menuju konsepsi pluralisme. Filsafat perennial membangun konsep pluralisme agama dengan menggunakan metode kritis-kontemplatif. Filsafat perennial mendasarkan konsep pluralismenya pada pendekatan trans-historis dan metafisis serta tidak terpaku pada pendekatan akademik historis atau sosiologis belaka. Kearifan sosial yang terbangun dalam bentuk-bentuk sebagaimana yang dipaparkan oleh Muhammad Fathi Osman merupakan implikasi dari pendekatan pemahaman agama yang trans-historis dan metafisis.
Filsafat perennial tidak meyakini bahwa semua agama sama atau tidak menghargai religuisitas yang partikular serta mereduksi praktek-praktek keberagamaan yang eksoterik menjadi tidak bernilai. Apalagi sampai “menelanjangi” identitas dan simbol-simbol lahiriyah agama, karena hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai perennial itu sendiri. Filsafat perennial berpandangan bahwa Kebenaran Mutlak hanyalah satu, tetapi dari Yang Satu itu memancar berbagai “kebenaran” sebagaimana matahari yang secara niscaya memancarkan cahayanya. Hakikat cahaya adalah satu dan tanpa warna tetapi spektrum cahayanya ditangkap oleh mata manusia dalam kesan yang beraneka warna. Artinya, meskipun hakekat dari agama itu satu sebagaimana yang diuraikan dalam kesepuluh prinsip universalitas esoteris. Tetapi karena agama muncul dalam ruang dan waktu tidak secara simultan, maka pluralitas dan partikularitas bentuk dari bahasa agama tidak bisa dielakkan dalam realitas sejarah. Dengan kata lain, pesan kebenaran yang Absolut itu bersimbiose dan berpartisipasi dalam dialektika sejarah. Itulah sebabnya secara eksoterik-historis agama tampil dalam berbagai wajah, namun pada ranah esoterik-transhistoris agama pada dasarnya satu karena berasal dari realitas trans-historis yang tak mengenal partikularitas dan pluralitas. Dalam konsep eskatologis, karena filsafat perennial memandang semua agama menuju pada tujuan yang sama dan berdasar pada kearifan dan kebanaran yang sama pula. Maka akan terbangun sikap pluralis karena memandang keselamatan eskatologis terbuka untuk seluruh manusia, dari berbagai latar belakang agama maupun keyakinan.
Dengan memahami kesatuan agama secara substansial, maka filsafat perennial akan mengantarkan kita untuk memahami agama -meminjam istilah Alport- secara intrinsik dan tidak beragama menurut pola ekstrinsik. Pola keberagamaan intrinsik kan mengantarkan kita untuk selalu memaknai dan menghayati agama secara obyektif dalam ranah kehidupan kita. Secara sosiologis hal ini akan membuat kita senantiasa bersikap arif dan menghargai terhadap berbagai perbedaan yang tampak dengan orang lain. Ruang dialog, saling memahami, kerjasama, dan persaudaraan sebagai perwujudan konsep pluralisme akan lebih mudah untuk terbangun dalam ranah kehidupan sosial umat beragama yang berbeda.
Dalam konteks membangun tatanan kemanusiaan yang ideal, filsafat perennial akan mengantarkan manusia pada konsep pluralisme yang aktif, arif dan konstruktif. Aktif dalam artian, pluralisme yang terbangun tidak hanya sebatas pada koeksistensi pasif saja, melainkan sampai pada terbukanya kerjasama dan dialog yang aktif. Arif dalam artian, pluralisme yang terbangun tidak hanya berhenti pada toleransi semata, tapi pluralisme yang terbangun menghasilkan persaudaraan universal yang humanis tanpa dibatasi oleh sekat-sekat keyakinan. Selain itu pluralisme yang terbangun juga akan mengantarkan manusia untuk menghargai persamaan nilai-nilai universal dari semua agama. Konstruktif dalam artian pluralisme yang terbangun akan membentuk sistem-sistem sosial yang akan mengarahkan manusia pada sebuah kemajuan peradaban manusia yang humanis dan damai.
Sebagaimana dikatakan oleh Ayatullah Sayyid Ali Khamene’I (pemimpin spiritual Iran), pada suatu pertemuan agama-agama di Teheran. Pluralisme perennial berpandangan bahwa agama pada dasarnya menganggap keselamatan dan kesejahteraan umat manusia sebagai tujuan utamanya. Setiap agama pada dasarnya menampilkan “program” Tuhan kepada umat manusia sesuai dengan tuntutan zaman, ruang, dan kapasitas umatnya. Pembawa misi agama (para nabi dan pelanjut setianya) sebagian besar menanggung perjuangan berat dan panjang untuk menyampaikan dan merealisasikan misinya. Perjuangan dan dan jerih payah penuh keimanan ini ditujukan pada keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian dengan memahami merealisasikan konsepsi pluralisme perennial maka diharapkan akan terwujud tatanan sosial kemanusiaan yang ideal yang mengantarkan manusia pada pintu gerbang kejayaan peradaban yang humanis dan damai.

HUMANISME DALAM TINJAUAN SAINS, FILSAFAT, SPRITUALISME *)

0 komentar
Jasman al-Mandary

Istilah humanisme mempunyai riwayat dan pemaknaan yang kompleks. Humanisme, sebagai sebuah terma mulai dikenal dalam diskursus wacana filsafat sekitar awal abad ke 19. Menurut K. Bertens, istilah humanisme baru digunakan pertama kali dalam literatur di Jerman, sekitar tahun 1806 dan di Inggris sekitar tahun 1860. Istilah humanisme diawali dari Term humanis atau humanum (yang manusiawi) yang jauh lebih dulu dikenal, yaitu mulai sekitar masa akhir zaman skolastik di Italia pada abad ke 14 hingga tersebar ke hampir seluruh Eropa di abad ke 16. Terma humanis (humanum) tersebut dimaksudkan untuk menggebrak kebekuan gereja yang memasung kebebasan, kreatifitas, dan nalar manusia yang diinspirasi dari kejayaan kebudayaan Romawi dan Yunani. Gerakan humanis berkembang dan menjadi cikal bakal lahirnya renaisance di Eropa.
Dalam perkembangannya humanisme di Eropa menampilkan penentangan yang cukup gigih terhadap agama (dalam hal ini Kristen) dan mencapai puncaknya, ketika Augusto Comte mendeklarasikan “agama humanitarian” dan menggantikan agama yang dianggap tidak humanis. Pertentangan ini terus berlangsung, hingga di pertengahan abad ke 20 para pemuka-pemuka Kristen mulai memberi ruang apresiasi bagi humanisme dan pada konsili Vatikan II (1962-1965) pihak Katolik memberi respon positif terhadap humanisme. Namun lucunya, ketika kalangan agama mulai mengapresiasi humanisme, diskursus filsafat justru mempropagandakan anti humanisme, khususnya dengan wacana “kematian manusia”nya Michel Fouchault, “absurditas manusia”nya Albert Camus.
Humanisme sebagai sebuah term diskursus menuai berbagai pemaknaan, tergantung berbagai sudut pandang dan tinjauan yang digunakan. A. Lalande, menyebutkan beberapa pengertian humanisme, yang diantaranya ada yang saling bertentangan. Salah satu pengertian humanisme adalah gerakan humanis di Eropa yang memandang manusia dalam perspektif “manusiawi’ belaka yang bertentangan dengan perspektif religius (agama). Di samping itu, A. Lalande juga menyebutkan pengertian humanisme sebagai pandangan yang menyoroti manusia menurut aspek-aspek yang lebih tinggi (seni, ilmu pengetahuan, moral, dan agama) yang bertentangan dengan aspek-aspek yang lebih rendah dari manusia. Ali Syari’ati menyebutkan defenisi humanisme sebagai himpunan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang berorientasi pada keselamatan dan kesempurnaan manusia. Tampaknya dari berbagai defenisi mengenai humanisme, defenisi yang diajukan oleh Ali Syari’ati lebih mendekati arti humanisme dari sudut pandang etimologis (human atau homo = manusia dan isme = paham atau pandangan).
Sekalipun istilah humanisme merupakan terma yang hanya dikenal dalam diskursus filsafat, namun humanisme sebagai pandangan mengenai konsep dasar kemanusiaan dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, seperti sains dan spiritualisme. Dalam tulisan ini, humanisme coba diurai secara singkat dari tinjauan sains, filsafat, dan spiritualisme.
Secara ontologis, sains mendasarkan pandangannya pada diktum fisika Newton yang menyatakan “tiada fenomena yang tak dapat diukur dalam filsafat eksperimental”. Diktum ini melahirkan pandangan positivisme yang menekankan metode empirikal-eksperimentatif dalam memahami realitas. Metode ini meniscayakan lahirnya paradigma reduksionisme-atomistik yang menghasilkan pengerusan pada makna dan hakekat realitas. Dalam nalar saintifik pengetahuan semata bersifat nomotetis dan tidak terdapat pengetahuan yang bersifat ideografis (nilai dan kesadaran). Walhasil, humanisme dalam tinjauan sains, memandang manusia tak lebih dari fakta empirikal (nomotetis) dan bersifat mekanistik-deterministik serta mereduksi manusia dari hal-hal non empiris, seperti nilai dan kesadaran. Konstruksi manusia dalam pandangan saintifik ini mencapai titik ekstrimnya dalam pandangan Julien O de Lametrie yang menyamakan manusia dengan mesin (L’ Homme machine).
Pandangan sains tersebut, menuai kritik yang cukup tajam dari para ilmuwan dan filosof yang mencermati dilema-dilema yang muncul dalam fakta kemanusiaan sebagai akibat pandangan humanisme yang sangat saintifik (positivistik). Konsep alienasi, deprivasi, “kehilangan jati diri”, dan split personality merupakan serangkaian terma yang ditujukan sebagai kritik terhadap implikasi pandangan kemanusiaan yang dihasilkan dari kemajuan sains. Erich Fromm menyebutkan perkembangan teknologi menghasilkan pergeseran mendasar dari human thought kepada thinking of machine yang mengakibatkan manusia tergeser dari pusat peradaban hingga ke “margin-margin” peradaban. Hal senada juga diungkapkan oleh Nicholas Bordayev yang menyebutkan pandangan ilmiah dan kemajuan teknologi berakibat pada perbudakan manusia oleh mesin.
Filsafat mendasarkan dirinya pada akal sebagai realitas sublim pada diri manusia. Dengan sendirinya pandangan filosofis memandang manusia tidak hanya sebatas realitas material belaka yang statis dan determinis, melainkan juga sebagai realitas ideografis yang memiliki persepsi dan kesadaran yang bersifat dinamis. Sebagaimana dalam pandangan Jean Paul Sartre yang mengklaim filsafat eksistensialismenya sebagai pandangan yang humanis membagi eksistensi manusia secara bidimensional, yaitu l’ etre en soi (ada dalam diri) dan l’ etre pour soi (ada untuk diri). Dengan akalnya, manusia berperan sebagai “lakus dunia” yang dapat mempersepsi, mengubah, serta memberi nilai dan makna pada dunia dan hidupnya. Sekalipun demikian, mengenai persepsi, serta nilai dan makna yang dihasilkan akhirnya berbeda bahkan bertolak belakang antara satu pemikir dengan pemikir lainnya. Jika kita menelusuri humanisme dari sudut pandang filsafat maka kita akan terbawa pada perdebatan panjang yang tiada henti mengenai nilai dan makna kehidupan manusia. Paling tidak kita akan sampai pada perdebatan kalangan filosof eksistensialis (Nietszche, Kierkegard, Sartre, Jaspers, Marcel, dan pemikir eksistensialis lainnya) serta pemikiran para filosof lainnya yang sangat tidak memungkinkan untuk diungkapkan dalam pertemuan dan tulisan ini. Namun paling tidak, humanisme dari sudut pandang filsafat berakar pada pandangan yang sama mengenai manusia sebagai “lokus semesta” yang berkesadaran, dinamis, dan dengan kemampuan akalnya senantiasa mencari makna dan nilai dalam kehidupannya.
Jika sains memandang manusia dari sisi matternya, filsafat memandang manusia dari sudut pandang mindnya, maka spiritualisme memandang manusia dari sudut pandang spirit (ruh)nya. Secara ontologis, spiritualisme mendasarkan pandangannya bahwa manusia selain memiliki dimensi eksoteris (tubuh), manusia juga memiliki sisi esoteris (ruh) yang bersifat transenden dan Ilahiyah. Dimensi esoteris inilah yang menjadi esensi kemanusiaan manusia serta menjadi elan vital bagi gerak dinamis manusia dalam kehidupannya. Spiritualisme sangat menekankan aspek intuitif dalam proses pencapaian makna dan hakekat dari realitas, termasuk diri manusia. Intuisi merupakan potensi epstemologis yang dimiliki oleh manusia untuk mencerap secara langsung dengan realitas yang tidak terbuka terhadap persepsi indrawi dan menangkap realitas tersebut secara esensial dan utuh. Jika akal dan indra hanya mampu mencerap pengalaman-pengalaman fenomenal manusia, intuisi mengantarkan manusia untuk mencerap pengalaman-pengalaman eksistensialnya.
Spritualisme berpandangan bahwa Tuhan adalah modus eksistensi manusia yang kepadaNya seluruh manusia mesti menuju. Spiritualisme memandang bahwa realitas spiritual yang merupakan elan vital manusia adalah pancaran dari Ruh Ilahiyah (Tuhan) yang bertajalli “dalam” diri manusia dan terejawantahkan dalam atribut-atribut ketuhanan yang dimiliki manusia, seperti kesadaran diri, kehendak bebas, dan kreatifitas. Sekalipun dengan berbagai penamaan yang berbeda (Ruh Allah, Ruh Kudus, Atman, Tao, Budha)., namun seluruh tradisi spiritual (agama) sepakat, bahwa spritualitas manusia bersifat universal dan tak terbatas dan mengantarkan manusia untuk merasakan dan memaknai secara langsung (hudhuri) kehidupannya. Selain itu, semua tradisi spiritual sepakat, bahwa jalan untuk mencapai keselamatan dan kesempurnaan manusia sebagaimana yang dicita-citakan oleh humanisme, adalah dengan membangun keseimbangan dalam hidup antara aspek teoetika atau penghambaan dengan Tuhan (ibadah), psikoetika atau penyucian jiwa dari sifat-sifat tercela, dan diwujudkan dalam bentuk pengkhidmatan kepada sesama manifestasi-manifestasinya (manusia dan alam) atau sosioetika. Karena manusia memiliki atribut ketuhanan, maka manusia wajib untuk “berakhlak sebagaimana akhlak Tuhan”, sebagaimana yang dikatakan Iqbal “menyerap Sifat-Sifat Tuhan dan menjadikannya sebagai elan vital untuk mengubah dunia”.
Secara umum, humanisme dalam pandangan sains dan filsafat secara an sich, masih terjebak pada adanya keterpisahan antara “aku” dan “kamu”. Hal ini didasarkan pada pandangan sains yang mendasarkan manusia pada matter (body)nya dan filsafat pada mind, sehingga masih ada my body and your body, juga my mind and your mind yang berbeda dan terpisah, hal ini masih memungkinkan lahirnya individualisme. Sedangkan spiritualisme yang mendasarkan pandangannya pada spirit manusia yang tunggal dan universal sangat memungkinkan untuk mengantarkan manusia meninggalkan egoismenya dan menuju cita-cita humanisme universa, yaitu persamaan, persaudaraan, cinta kasih, keadilan dan pengorbanan. Pandangan ini bukan berarti menafikan peran sains dan filsafat dalam kehidupan manusia. Imam Husein as, menjadi “humanis”, bukan karena pandangan empirik atau filosofisnya belaka, tapi intuisilah yang mengantarkan Imam Husein pada pengalaman eksistensial dan merasakan penderitaan mereka yang tertindas. Dan panggilan spirituallah yang “memanggil” Imam Husein as, untuk berkorban.

Darah tak akan pernah menghapus noda sejarah
Yang kita tangisi bukanlah pembantaian,
tapi nurani kemanusiaan yang hilang
Setiap hari adalah Asyura dan Setiap tempat adalah Karbala
(Manifesto Perjuangan para Pencinta Ahlul Bait as)
Selamat hari Asyura

*) Tulisan ini dipresentasikan pada paket kajian Asyura IJABI Sulsel pada tanggal 25 Januari 2007 di Panrita.

KUMPULAN PUISI

0 komentar
Jasman al-Mandary


MELEPAS ASA
untukmu kutembangkan lagu
tentang asa dan rindu
yang selalu datang bercumbu
padaku

untukmu kupintakan doa
pada setiap malam yang ada
dalam resah yang berkelana
hanya untuk satu nama

untukmu kurelakan harap
saat letih datang mendekap
hingga mimpi berakhir lara
dan penantian tinggallah duka

Makassar, 30 Agustus 08

Kau Tak Pernah Tau

Engkau datang lagi
dengan kepedihan
Seakan saga
Yang siap menoreh nadi

Dan langkahku begerak
Bebas menuju
Kasih yang berarak-arak
Menembus pagarku
Sementara
Lagu itu tetap berdengung
Melelap jiwaku
Yang serasa makin suwung
Ah,negeri maya
Bawalah aku serta
Bersama kelepak asa
Yang makin binasa

Kematian Senja
senja telah mati?
dalam pekik sunyi nelayan pantai
terkurung bersama ribuan camar tua
yang terluka

senja telah mati?
dalam buaian ombak samudera
saat malam menjerat tepian dermaga
sebelum bulan menunaikan janji-janji

senja telah mati?
pukul lima tadi
maka tolong katakan padaku
akankah esok hari kutunggu

KIDUNG
Tergantung aku dalam redup yang menyayat
hinggap dalam maya nan jingga
langkah ini memang pelan terasa
hingga ujung aku tak tahu akan terjalani
sayup-sayup suara itu hinggap
membelah redup dan tebarkan harapan
memang jauh suara itu namun begitu jelas
dingin terasa membasuh kepenatan
seakan kesepian berlalu sudah
hadirnya merubah jalan
hadirnya bekukan kemunafikan
dan hadirnya adalah jembatan cintaku
kusadari aku adalah rapuh
suara itu masih terdengar
semakin lama semakin terasa itulah cintaku yang ku yakini
itulah kidungku yang akan menemani aku
hingga ujung perjalanan

Purnama Itu Adalah....
kau adalah purnama yang menyapa
ditengah gulita yang pekat
kini sinarmu merajai kalbu
sahaja dan sederhana melepas tawa
kata yang terucap membasuh kering
menutup retak-retak kemarau
dan cahaya itu mengusir kelabu
yang mengubur rasa dari hasrat
kehidupan kau rengguk dengan pejam
kenyataan adalah keyakinan
aku harus tepikan rasa ini
karena kau adalah beda
wajah itu sudah milikku
aku mungkin saja hanyut
namun aku tak akan tengelam
sinarilah terus purnamaku
hati kan menyambut gemulai
bawalah angkuhku melebur
berasama gulita yang bisu
aku sambut hadirmu
berenanglah, berlayarlah, terbangkanlah
aku kan hanyut ..........
tapi jangan tenggelamkan.

BLONGKOT
raja itu adalah aku
kurajai semua cinta
karena semu adalah buta
tanpa raja itu aku pecundang
bukankah pecundang akan dijahui
oleh semua ,juga cinta
maka ...akulah raja itu
bukan kau..........
Bukan dia............
Tapi aku...............
Blongkot............

SAHABATKU
aku tahu kesedihan adalah rasa
dalam... dan berenang memaki
kesedihan itu cambuk
jua duri yang menusuk dan akan membuat kamu lebih dewasa
menikam sakit membuat gigil,terpasung dan tersiksa
kepergian seseorang yang kita cintai memang kepahitan namun lebih mulia keihklasan kita tebar menjubahi jiwa kita
mewangi dan akan membasuh luka kita
kupersembahkan
untuk mu
: my friend

Hai.........
tawamu, adalah puisi jingga
yang kujilati keindahanya.
wangimu bersatu dalam ceria
kesedihan kau ubah laksana bahagia
teruskan mimpimu.......
raih angan dengan segala asamu
biarkan senyum itu sembunyi di bibirmu
aku yakin sang pencinta akan ragu meninggalkanmu
awal dari keindahan telah kau lukis
mengais mimpi yang ada dan nyata
namun sobat jangan sampai kau terjatuh
karena jatuh itu sakit dan menyakitkan
kutunggu tawamu walau jauh terdengar
kupersembahkan
untuk
semua teman-temanku

HILDA
hilda kecilmu adalah anugerah terindah yang kau miliki
buah cinta yang kau rajut dan menjelma.....
dia adalah titipan tuhan untukmu
hingar-bingarkan keheningan
wujudnya adalah sutra putih
yang akan kau lukis
dengan warna-warnamu
ada hitam, putih, merah jua jingga
berikan dia cahaya ddalam kegelapan
siramlah bara yang membakarnya
dekap dia erat kala dia menggigil
kesepianya adalah tngismu yang harus kau tebus...
dengan canda tawa dan bahagia
hadirkan nyanyian kidung kasih senantiasa...dia akan terlelap dalam boboknya yang pulas itulah kebahagiaan yang aku iri melihatnya


Anggun
Rasakan Lembutnya Yang Teraba
Pejamkan Matamu Hembuskan Nafas Itu
Disisi Itu Kau Dapatkan
Jingga Meremang Dan Hangat
Sentuhanya Adalah Pangeran
Belaiaanya Meresap Dalam Birahi
Hanguskan Segala Kebencian
Terus Telusuri Dada Perkasanya
Hingga Kau Raih Sisi Itu
Hembuskan Lirih Rintihan Itu
Dia Akan Terpesona
Disisi Itu Dia Akan Terjatuh
Menari-Menari Dan Menari Gemulai
Sisi Itu Adalah Cintamu
Dan Mulailah Terbang.........

Mimpi HB Jassin
Aku bermimpi puteri Cina
Mau mengajaknya jalan-jalan
Tapi ibunya menjaganya, menjaganya dengan ketat

Dia rindu kepada Lian,
Dia terpekik menyambut aku
Tidak mengira aku cinta padanya
Aku bekerja, bekerja, bekerja
Habibie senang tersenyum
Senang tersenyum melihat aku bekerja

Buku-buku dicetak,
Buku-buku baru dan cetak ulang
Buku-bukuku dicetak
Banyak, banyak sekali

Aku salat, salat Tahajud,
Subuh, Lohor, Asar, Maghrib dan Isa,
Aku salat sanah tiap salat wajib
Dan mengirim doa kepada kedua orang tuaku,
Kepada Hamka dan kawan-kawanku
Subagio Sastrowardojo dan lain-lain

Hidupku hidup nyata dan impian
Tak dapat kubedakan mana yang nyata mana impian
keduanya sama dalam hidupku

Aku berdoa: Ya Allah,
Bukakanlah hati semua orang
Bukakan hatinya menerima Al-Quran Berwajah Puisi
Dan menyebarkannya keseluruh penjuru

Tak dapat aku bedaskan pengalaman nyata,
impian dan harapan
Aku membaca, bacaanku pun menjadi nyata
Aku terbang ke istana Harun Alrasyid,
Melihat Hikayat Seribu satu Malam

Pagi-pagi ku baca koran,
Berita-berita terlukis di mata
Waktu tidur berita menjadi nyata
Bercampur baur peristiwa dan impian
Apa yang masuk dan keluar benakku
Keduanya mempunyai nilai yang sama
Benakku sungguh luar biasa
Apa yang keluar dari benak Taufik Ismail, Hamid Jabbar,
dan Sutardji Calzoum Bachri, menjadi bagian dari benakku
Alangkah besar alangkah Agung Tuhanku!

Aku ingin

..aku ingin
mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan,
kayu kepada api yang menjadikannya abu...
..aku ingin
mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang membuatnya tiada...
2003

Mengaji sunyi

Kalam-kalam romansa
hidup bersama tahta abadi...
hanya melukis wajahmu yang aku bisa...
dalam sunyi yang sendiri,
temani harap yang begitu saja
terbuang,
bersama sisa-sisa waktu yang akan memisahkan
kita..nanti
Semoga sunyimu pun bersamaku...
seperti sunyiku yang selalu bersamamu.
HARAP
Berjaga padamukah lampu-lampu ini, cintaku
yang memandang tak teduh lagi padamu
Gedung-gedung memutih memanjang
membisu menghilang dari sajakku

Tapi kita masih bisa mencinta, jangan menagis
Tapi kita masih bisa menunggu. Raja-raja akanlewat
dan zaman-zaman akan lewat
Sementara kita tegak menghancur 1000 kiamat

Sebuah Tempat
Gerimis itu telah menghapus jejaknya yang tertinggal didalam Lumpur
?dia telah pergi, tak satupun dari kita tau kemana dia?
pohon-pohon akasia di tepi jalan
orang-orang yang lalu lalang
pasar-pasar malam
tak ada yang pernah menyapanya didalam ingatan

?hiduplah, untuk seratus tahun lagi
mencintalah untuk seratus tahun lagi?

sore itu, seperti biasa orang-orang lalu lalang, dibawah deretan akasia di tepi jalan
pasar-pasar malam adalah tujuan kehidupan
nikmati saja apa yang disuguhkan disana.

Lantas gerimis itu datang tanpa diundang
Ya, walau gerimis tapi cukup membuat kacau pasar malam
Semua berteduh
Dibawah pohon akasia semua orang merentang jalan kehidupanya masing-masing
Pasar malam sepi
Jalan-jalan lengang

Semua orang mencari perlindungan
Sebatang akasia tua
Bukanlah tujuan hidup manusia
Hanya sesaat memberikan keteduhan dari terpaan air
Gerimis telah menghapus jejak yang tertinggal didalam Lumpur
Pasar malam pasar sepi
Jalan-jalan lengang ditengah boulevard akasia
Tak ada seorangpun yang mau membaca ritusnya disana
?air naik setinggi rumah, orang-orang, mobil-mobil, kasur, kayu, beha, manusia bahkan rumah juga dibawa oleh gerimis sedu sedan itu?
lantas tak ada yang tersisa

tak ada komidi putar atau badut yang sedang beraksi disana, pulanglah!
?gerimis benar-benar telah menghapus semuanya?

?hiduplah, untuk seratus tahun lagi
mencintalah untuk seratus tahun lagi?

Jalan akasia yang dipenuhi luka-luka
bukanlah tujuan manusia
pasar malam pasar tragedi
tempat yang indah untuk mati

gerimis jatuh lagi
sekarang semuanya benar-benar pergi


Sekolahku, in memoriam
Sekolahku habis terbakar amarah
Genteng-genteng berjatuhan ke lantai yang tersiram darah
Sekolahku membara
Halaman-halaman dari kitab tua berhamburan ke halaman
Sekolahku tinggal kenangan

Semua habis dilalap si jago merah
Sebuah peta ikut musnah, musnahlah sebuah peradaban
Poster pala pahlawan menatap kosong kepada bilur-bilur merah yang menjilat sejarah
Di dinding, mereka syahid untuk yang kedua kalinya.
Sekolahku hangus
Poster presidenku juga hangus

Maka di halaman kami semua meratap pada nisan kenangan peradaban lama
Sambil membawa karangan bunga,
“di pita hitam ku tatah nama sebuah sekolah, sebuah institusi yang di bunuh mati. Sebuah rahim yang di congkel aborsi,”
lantas kami kibarkan bendera setengah tiang.

Sekolahku sekarang tinggal kenangan
“kami adalah janin yang mati tepat ketika ibu hendak melahirkan seorang bayi”
dan kami semua merupakan manusia-manusia setengah jadi. Ataupun jadi-jadian

Mahluk-mahluk jadi-jadian sekarang sedang menatap pada kenangan peradaban lama
Dibentangkannya sebuah spanduk yang berisikan slogan-slogan hambar (yang kami pelajari di dekolah kami dulu).
Sebuah poster besar bergambar sebuah sekolah yang terbakar
“Selamat istirahat yang tenang sekolahku. Kami iklaskan diri kami menjadi mahluk peragu. Sampaikan salam kami kepada Bapa di sorga. Bahwa banyak diantara kami memilin dan memintalnya menjadi sebuah jalan. Naik ke gunung atau sekedar menjadi mata-mata. Atau malah jadi tentara. Sampaikan wahai sekolah.” Bisik ketua kelas yang mewakili kami pada pidato sebuah reuni.

Kelak ketika kita semua benar-benar tak lagi bisa mendengar
Mata rabun dan melihat samar
Tubuh bungkuk dan selalu bersandar
Kita akan lihat sekolah kita bangkit dari kubur, sambil memanggul kayu salib.melintasi jalan-jalan interogasi.

Sekolahku sudah habis terbakar
Sekarang tinggal puing-puing dendam

Djk, 21 April 2005

Tentang Matanya
aku tertarik pada matanya
matanya tidak teduh
tapi tidak berbeda dengan gurat tegas surya senja yang merah-jingga
memberikan batas tegas siang dan malam

senja adalah ketakutan buatku
karena senja menusuk tajam waktu
dan melukai langit biru
aku tertarik pada matanya
matanya tidak teduh
tapi tidak berbeda dengan gurat tegas surya senja yang merah-jingga
memberikan batas tegas siang dan malam

senja adalah ketakutan buatku
karena senja menusuk tajam waktu
dan melukai langit biru

------------
bait ke 2 kok kayaknya keluar dari judul, kenapa?atau hanya penglihatanku saja?
ada beberapa yang rancu dari analogi sampeyan, kesannya malah seperti bertentangan :
matanya tidak teduh
tapi tidak berbeda dengan gurat tegas surya
dan
senja adalah ketakutan buatku
terus bagaimana kalimat2 itu menjelaskan baris pertamanya?
atau sampeyan memang sedang bercerita tentang kerancuan itu?
tapi secara umum, puisinya bagus

AKU MUAK KAU MASIH JUGA BISU
Wajah mereka lugu
Tak juga sadar akan dirinya
Bangunlah dari mimpimu dindaku
Sadarlah kalian sedang ditindas…!!!

Kau lahir untuk obsesimu,,,
Lantas kenapa kau masih juga memikul obsesi orang lain???
Apakah karena mereka DOKTOR…??? Sekalipun DIKTATOR tak bermutu.???

Belajarlah untuk berkata dengan katamu sendiri…!!!
Belajarlah untuk bertanya dengan pertangyaanmu sendiri
Bukan dengan kata-kata dan pertanyaan orang lain…!!!

0Ch@ -Sedang Jenuh-

SIKAP
Maumu Mulutmu Bicara terus…
Tapi tuli telingamu tak mau mendengar
Maumu,,aku ini jadi pendengar terus… bisu
Kamu memang punya tank, tapi salah besar jika karena itu aku lantas diam

Akan kukabarkan pada semua mahluk
Bahwa sepanjang umurku telah kukubur rasa takut di tumitku
Dan kuhabiskan hidupku untuk menentangamu HAI PECUNDANG

GAMANG
Tak kurasakan lagi keajaiban itu…
Kemana perginya rasa itu?
Mungkikah terkubur bersama letih yang kau titipkan?
Ataukah terbang bersama
Gunda yang kau sematkan…

Entahlah tapi kini aku benar tak tau.
Kemana perginya rasa itu

SEBUAH PENGAKUAN

Setiap detik yang terwujud dalam bingkai perbuatan
Meninggalkan setitik harap
Kiranya ada bahagia yang sinngah di jiwa
Yang melihat, menyaksikan dan merasakan lakuan diri,

Namun terkadang keadaan tak bersahabat
Kenyataaan tak pilah dalam menyepa
Sehingga kebenaran sekalipun terpaksa datang tanpa pilihan
mampu menyilamkan paham dan pengertian kita pada suatu hal
yang tidak akan berubah arti jika dibahasakan, pun jika tak dikatakan

Suatau hal yang didalamnya akan terpenuhkan seribu mimpi
Tentang kebahagiaan, tentang kedamaian, dan tentang kebersamaan.
Suatu hal kebenarannya hadir hanya menunggu hati kita
untuk mengeja dan mengakuinya.

Suatu hal yang terdalam, meski nyata tak sesuai harapan
Meski ada rasa bersalah, meski ada tangis, meski ada luka.
Tapi yakinlah ada kebahagiaan sebagai penawarnya.

Waktu akan menjahit rapat sayatak kisah kita,
waktu akan meyimpan semuanya
Dan waktu pula yang akan membuat kita tertawa lepas dan bebas
Hingga kisah itu terlupa.

Aku tak bias untuk harapan kaka,
tapi aku ada untuk menjadi bagian lain.
Dan dalam hidup kakak
panggil aku jiak kakak membutuhkanku
jika waktu dan kesempatan berbalik melepasku
aku pasti datang untuk panggilan itu
“maafkan saya kak”-terimakasih untuk segalanya”

From : Nhay
Makassar,14juni09



LANJUTAN
Aku tidak tau mengapa dalam senyum ini air mata jatuh
Yang kusa dari aku gagal menjadi ruang tempat kehakikian rasa itu tertampung
Yang kumengerti aku harus terima waktu ini terlewat tanpa akan kembali
Yang kutaklu, aku merasa ada damai bagaimanapun nyatanya dan yang kuminta, yang kuharap, yang ku do’a.
Untuk dia yang menitipkan rasanya, untuk dia yang menyandarkan harapnya pada diri yang terlanjur hampa dan beku ini. Di waktu kemarin, hari ini, esok sampai entah kapan. Kiranya dihampirkan padanya kekuatan, kedamaian dan kebahagiaan, karena bahagianya adalah mimpiku, sebab ketika terus ada risau yang menyakitinya, terus ada sepi hampa dan kesendirian yang menyiksanya. Aku tak akan pernah memaafkan diriku “tidaka akan berubah keadaan seseorang kecuali dia sendiri yang mengubahnya
Waktu akan mengentarmu berjalan keyakinan dan perjuangan akan memapamu kepada akhir sebuah pencarian “kau pasti menemukannya” diatas rasa tersanjungku ada penghargaan dan penghormatan unrtukmu yang yang tak bias dirangkum kata. Takzimku dengan kasih….
Makassar 14 Juni 09

MENYOAL PROBLEMATIKA PERADABAN MODERN

0 komentar
Jasman al-Mandary

A.Pengantar
Dominasi pandangan ilmiah modern (Barat) telah begitu dalam merasuki pola pikir keilmuan kita, sehingga kita tidak merasakannya lagi sebagai sesuatu yang asing apalagi aneh dalam pandangan keilmuan kita. Begitu dalam penetrasi pandangan ilmiah modern kedalam intelektual kita, sehingga banyak diantara kita kemudian menganggap inilah satu-satunya pandangan keilmuan non-Barat. Pandang ilmiah barat yang lahir dan berkembang dalam setting kultural dan idiologis yang berbeda itupun telah dianggap dan diadopsi secara tidak keritis sebagai pandangannya sendiri, bahkan kadang dengan nada kefanatikan yang kental.
Berbagai pertentangan yang dihasilkan oleh pemikiran budaya Barat membawa pada sebuah kesimpulan, bahwa pandangan dunia yang dihasilkan selama ini terpecah-pecah setidaknya pandangan ini dilontarkan oleh Capra. Pandangan dunia ala Descartes yang mekanistik yang kemudian sedikit banyak mempengaruhi pemikir-pemikir besar zaman berikutnya telah berpengaruh kuat pada semua ilmu dan cara pikir kita. Metode ilmiah yang dipakai selama ini telah menghasilkan metode mekanistik dalam berinteraksi. Capra dalam tulisan pendahiuluanya untuk bukunya The Tao Of Physis, mengemukakan ide bukunya dari pengalaman mistis yang ia rasakan saat duduk-duduk sore ditepi pantai, menyaksikan deburan ombak serta merasakan nafasnya yang seirama dengan keseluruhan lingkungan hidup. Berawal dari pengalaman romantik ini, ia berhasil membawa arah baru dalam dunia fisika yang ia tekuni, menggugat peradaban modern yang membawa kehancuran serta menciptakan visi baru dengan melibatkan pemikitan timur.
Pada kondisi kekinian dimana peradaban Barat telah mencapai titik puncaknya dan telah tampak gejala-gejala bahwa peradaban tersebut telah mengalami titik baliknya tang signifikan sebagaimana terlihat dari pandangan ilmiah Barat yang saat ini tengah mengalami perubahan-perubahan radikal dan fundamental.

B.Karakteristik Peradaban Modern
Menurut Dr. Muliadi Kertanegara, ciri khas dari peradaban modern yang paling fundamental ada dua, yaitu ‘rasionalitas’ dan ‘empirisme . Kedua unsur fundamental ini selama berabad-abad telah membentuk mental manusia modern menjadi ‘rasionalisme’ dan juga empirisme. Berbicara tentang rasionalitas dalam konteks peradaban modern, tentu kita tak bisa melupakan salah seoran tokoh, seorang fiolsof kenamaan dari Prancis. Rene Descartes yang dikenal dengan bapak filsafat modern. Ungkapannya yang terkenal Cogito ergo sum telah memberikan tekanan yang kuat pada rasio sebagai alat untuk mengenal realitas.
Rene Descartes dikenal sebagai pendiri rasionalitas barat dan itu populer pada masa pencerahan (aufklarung). Gerakan pencerahan ditandai oleh kepercayaan pengikutnya terhadap rasionalitas atau akal dan penolakan mereka terhadap hal-hal yang ir-rasionalitas atau mitologi. gerakan ini, melibatkan tokoh-tokoh besar seperti Imanuel Khant dan Hegel. Pada saat itu, banyak yang mempertanyakan mitos-mitos dalam agama kristen yang dipandang tidak rasinal. Karena itu takheran jika dikemudian hari seorang pembaharu Protestan Karl Bultmann merasa perlu untuk men-demitologisasi agama keristen agar agama tersebut dapat diterima oleh masyarakat modern yang begitu rasional.
Dengan pola peradaban modern yang mengedepankan rasionalitas yang mereduksi bidang ilmiah hanya pada dunia empirit, maka ini sangat berpotensi untuk melecehkan agama dan status keilmuan ilmu-ilmu agama.
Bentuk pelecehan egama ini misalnya dapat dilihat dari pernyataan Aguste Comte, yang menyatakan bahwa, agama merupakan rekayasa manusia pada tingkata atau tahap primitif ketika manuisa belum lagi mampu mengembangkan kapasitas rasionalnya, sedangkan science meruakan pencapaian manusia paling akhir dan paling canggih dengan fokus pada dunia material. Hal serupa juga dapat dilihat dari tulisan Sigmund Freud dalam bukunya The Future of an Illution bahwa ajaran-ajaran agama akan segerah ditinggalkan oleh masyarakat modern karena ketidak rasionalannya. Ia menyebut agama sebagai ilusi dan meramalkan agama akan bernasib malang dimasa depan karena ir-rasionalitasnya. Lebih dari itu, ia mengajukan bahwa etikas jika masih dibutuhan jangan disandarkan pada nilai-nilai agama, kalau tidak maka etika akan ditinggalkan bersama dengan agama.
Akibat dari penekanan terhadap rasionalitas oleh masyarakat barat modern, maka unsur-unsur non-rasional seperti yang banyak ditemukan dalam agama dan mistisisme cendrung ditolek sebagai ilusi atau halusinasi. Wahyu yang pada dasarmya diterima melalui intuisi (hati) ditolak otoritasnya, nabi sering dianggap sebagai psikopat yang mengalami ganguan jiwa.
Ciri kedua dari peradaban modern, yaitu ‘empirikal’ keberpihakan metode ilmiah Barat terhadap materialitas bisa dilihat dari apa yang disebut oleh Holmes Roston III sebagai ‘revolusi penjelasan’ ilmiah dimana telah terjadi perubahan yang cukup radikal dalam penjelasan ilmiah dengan menekankan hanya pada dua sebab (dari empat sebab Aristotelian), yaitu sebab efisien dan sebab material, dengan meninggalkan sebab-sebab formal dan final. Dengan demikian science modern hanya ingin meneliti fakta dan meninggalkan makna, lebih menekankan hal-hal empiris daripada non-empiris karena hanya yang bersifat empirik menurut mereka yang dapat di ukur dan di hitung, bahkan Galileo pernah mengatakan, bahwa hanya fenomena-fenomena yang bisa dihitung, yang bisa dimasukkan dalam domain science. Ini berarti, setidaknya menurut Laing, dalam science pasca Galileo, apa saja yang tak bisa dihitung itu tidak real (nyata), disini kecendrungan science pada kuantifikasi fakta yang tentu saja dapati pula kecendrungannya yang kuat pada tokoh sentral peradaban medern, Rene Descartes. Menurut Sayyed Hossein Nasr, Descartes telah mereduksi realitas-realItas eksternal yang begitu kaya kepada angka-angka dan filsafat alam kepada natematika.
Kecendrungan rasionalitame dan empirisme ini telah melahirkan apa yang dikenal dengan istilah positivisme, dimana segala sesuatu direduksi kedalam denda-benda material semata. Hal ini ternyata membawa dampak yang sangat besar terhadap paradigma ilmu pengetahuan modern yang selanjutnya melahirkan pandangan dunia materialisme mekanistik dan menolak nilai-nilai transedensi dan imanensi.

C.Penutup
Dari beberapa uraian tersebut, dapat kiranya ditarik kesimpulan : Pertama, bahwa pandangan yang mendominasi peradaban modern selama ini adalah rasionalisme dan materialisme. Pengaruh ini tampaj helas pada tergesernya nilai-nilai religius dan tealitas-realitas metafisik ke pinggiran lesadatan manusia modern, yang relah menimbulkan apa yang disebut Sayyed Hossein Nasr sebagai krisis spritual manuisa modern. Rasio atau akal telah dijadikan ukuran jitu untuk mengukur apakan sesuatu itu real atay hanya sebuah halusinasi. Freud pernah berseru, “dari pada menyembah tuhan yang pikiran manusia ciptakan, lebih baik kita hadapi dunia dengan gagah dan rasional”. Sedangkan pengaruh materialisme dapat kita lihat dari pemihakan sciense modern terhadap hal-hal yang bersipat positivistik. Sebuh disimplin ilmu baru dikatakan saintifik, bila objek-objeknya bersiat empiris sehingga bisa di ukur dan diobservasi secara indrawi.
Kedua, rasionalisme dan empirisme seperti yang tersebut diatas terjnyata mempunyai akar gistorisnya pada pandangan dan penemuan Descartes dan Newton yang delakangan hari menimbulkan sebuah pandangan ilmiah yang disebut “Cartesian-Newtonian paradigm”

AKTUALISASI

0 komentar
Menurut A. H. Maslow, Manusia memiliki enam hirarki kebutuhan, dan salah satu dari hirarki kebutuhan itu adalah kebutuhan akan aktualisasi diri, Blog ini akan menjadi wadah aktualisasi potensi menulis saya.