Dari Pluralitas Eksoterik Menuju Kesatuan Esoterik (Diskursus Pluralisme dalam Tinjauan Filsafat Perennial)

Rabu, 05 Agustus 2009
Jasman al-Mandary
(KETUA UMUM HIPERMAJU)

"Lampu-lampu adalah berbeda, namun cahaya tetaplah sama” (Maulana Jalal al-Din Rumi)

A. Mukaddimah

Sejarah agama-agama di dunia penuh dengan sejarah kelam yang dihiasi dengan berbagai tragika historis atas nama Tuhan. Sakralitas ajaran transenden “dipelintir” dan dipolitisir demi sebuah ambisi kelompok yang diwujudkan dalam bentuk pemberangusan dan pembasmian mereka yang dianggap menyimpang. Inkuisisi, mihnah, dan berbagai tragika sejarah telah menelan korban sekian banyak nyawa manusia hanya karena “satu dosa” menyimpang dari tradisi agama yang dimapankan.
Pola keberagamaan yang ekstrinsik melahirkan sikap keberagamaan eksklusif dan memandang “yang lain” sebagai entitas yang berbeda dan bahkan menyimpang. Karena kejumudan berpikir, agama hanya dipandang dari sisi lahir (eksoterik), dan bahkan sampai pada titik ekstrim agama diidentikkan dengan prilaku-prilaku dan simbolitas eksoteris semata. Dan menafikan sisi esoteris (batin) dari agama yang pada dasarnya merupakan jantung (inti sari) dari agama.
Pluralisme yang diwujudkan dengan sikap toleran, menghargai, membuka ruang dialog dan kerjasama dalam rangka membangun tatanan kemanusiaan yang harmonis akan menjadi mustahil jika agama hanya dipandang dari perspektif eksoteris belaka. Oleh karena itu, filsafat perennial memberikan sebuah pendekatan baru dalam mewujudkan pluralisme di kalangan umat beragama. Yaitu dengan menwarakan pendekatan transhistoris-metafisis untuk memahami kesatuan agama-agama pada ranah esoterik.

B. Selayang Pandang Filsafat Perennial

Istilah perennial berasal dari bahasa Latin, yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris yang berarti kekal, abadi. Berbeda dengan filsafat rasionalis murni, filsafat perennial mendasarkan pengetahuan, keyakinan, dan kecintaan terhadap Tuhan sebagai fondasi bagi pengembangan filsafatnya. Diduga pertama kali istilah filsafat perennial pertama kali diperkenalkan oleh Agustino Steuco (1490-1548), lalu kemudian disebutkan juga oleh Leibniz. Jauh sebelum Steuco, di dunia Timur telah dikenal istilah yang serupa dengan istilah filsafat perennia, yaitu istilah “sanatana dharma” di dunia Hindu, serta dalam sejarah pemikiran Islam “al-Hikmah al-Khalidah” (kebijaksanaan abadi) yang merupakan judul buku dari Ibnu Maskawaih (932-1030). Selanjutnya di abad ke 20 filsafat perennial “dihidupkan” kembali oleh beberapa pemikir kontemporer, seperti Aldoux Huxley, Charles B. Schmitt, dan Huston Smith. Sedangkan di dunia pemikiran Islam kontemporer wacana filsafat perennial dikembangkan, khususnya oleh Sayyed Husein Nasr dan Fritjouf Schoun (Muhammad Isa Nuruddin).
Filsafat perennial atau yang disebut dengan kebijaksanaan universal karena beberapa alasan yang kompleks, secara berangsur-angsur runtuh menjelang akhir abad ke 16 atau awal masuknya zaman renaisance. Itulah sebabnya Emanuel Wora menyebut filsafat perenial sebagai filsafat “yang terlupakan”. Salah satu alasan yang paling dominan dari runtuhnya filsafat perennial adalah perkembangan yang pesat dari filsafat materialis. Filsafat materialis yang menjadi dasar filosofis modernisme telah merubah secara radikal paradigma hidup dan pemikiran masyarakat. Berbeda dengan filsafat perenial yang memandang alams emesta sebagai satu kesluruhan yang tunggal, yang diresapi oleh suatu realitas transenden, dan yang menemukan penjelasannya dalam realitas transenden tersebut. Filsafat materialis memandang bahwa alam semesta didasarkan pada prinsip dan pola yang mekanistik. Oleh karena itu, filsafat materialis sama sekali tidak memberikan tempat bagi realitas transenden yang justru menurut pandangan filsafat perennial menjadi “inti” dari realitas. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, di mana modernisme sampai pada klimaks dan manusia tiba pada “titik jenuh” dari kehidupan yang serba materi dan fana. Kerinduan manusia akan sisi primordialnya akan “memanggil” manusia untuk “menggapai” alam transenden yang abadi. Dan filsafat perennial adalah salah satu jawabannya. Oleh karena itu, ada yang meramalkan hari ini merupakan zaman kebangkitan kembali dari filsafat perennial yang telah “terkubur” selama berabad-abad.
Filsafat perennial, setidaknya dapat didekati dengan tiga sudut pandang, yaitu epistemologis, ontologis, dan psikologis. Secara epistemologis, filsafat perennial membahas makna, substansi, dan sumber kebenaran agama serta bagaimana kebenaran itu berproses “mengalir” dari Tuhan Yang Absolut dan kemudian tampil dalam kesadaran akal budi manusia serta mengambil bentuk dalam tradisi keagamaan yang menyejarah. Sedang dari pendekatan ontologis, filsafat perennial berusaha menjelaskan adanya sumber dari segala yang ada (wujud qua wujud), bahwa segala wujud ini hanyalah nisbi, realitas alam tak lebih dari sekedar jejak, kreasi, maupun cerminan dari Dia (theophany). Sedangkan melalui pendekatan psikologis, filsafat perennial berusaha mengungkapkan apa yang disebut sebagai “wahyu batiniah”, “kebenaran abadi”, atau “sophia perennis” yang terukir di dalam lembaran hati seseorang yang paling dalam yang senantiasa rindu pada Tuhan dan senantiasa mendorong seseorang untuk berpikir dan berprilaku benar. Dengan kata lain, secara psikologis filsafat perennial meyakini pandangan bahwa dalam setiap diri manusia terdapat “atman” yang merupakan pancaran dari “Brahman”.

C. Agama : Antara Dimensi Eksoterik dan Esoterik

Dalam pandangan filsafat perennial, agama terbagi menjadi dua, yaitu dimensi eksoteris dan dimensi esoteris. Dimensi eksoteris agama berkenaan dengan hal-hal yang bersifat lahiriyah, seperti ibadah-ibadah ritual atau syari'at maupun penafsiran literer dari teks suci. Sedangkan dimensi esoteris agama berkenaan dengan realitas batin dari agama yang "keberadaannnya" "berada" di balik dimensi eksoteris dari agama.
Di kalangan penganut agama, termasuk diantaranya Islam, dua dimensi agama tersebut sering dipertentangkan dan diletakkan secara dikotomistik. Hasilnya adalah munculnya kaum skriptualis atau zahiri sebagai kelompok yang lebih menekankan sisi eksosterisme dan cenderung menafikan sisi esoterisme. Sebaliknya, muncul pula kalangan asketik atau batini yang hanya mengejar dimensi esoteris dan melalaikan dimensi eksoteris dari agama. Kalangan zahiri menyebut kalangan batini dengan sebutan syirik dan ghulaw (berlebihan) sedangkan kalangan batini menganggap kalangan zahiri mengalami "kekeringan" spiritual.
Pada dasarnya kedua hal tersebut bukanlah dua hal yang mesti dipertentangkan atau diposisikan secara binerian, sehingga dengan mengakui yang satu meniscyakan penafian terhadap yang lainnya. Keduanya adalah dimensi yang tak terpisahkan dari agama. Eksoterisme adalah "kulit terluar" yang mesti "ditembus" oleh manusia untuk mencapai dimensi esoteris yang merupakan "inti' dari agama. Mencapai dimensi esoterisme hanya bisa dilakukan melalui jalan eksoteris, dan penempuhan jalan eksoterisme akan menjadi sia-sia jika tak mampu mengantarkan kita pada dimensi esoteris. Antara dimensi eksoterisme dan esoterisme dalam agama memiliki hubungan simbiotik yang saling "melekat". Menganggap keduanya saling berkaitan dan tak terpisahkan merupakan cara pandang yang memandang agama dalam perspektif yang universal dan holistik. Namun, perbedaan pada ranah eksoterik semuanya menuju pada tujuan yang sama, yaitu dimensi esoteris, di mana pada ranah tersebut tidak ada lagi partikularitas dan pluralitas dan yang ada hanya universalitas dan ketunggalan.
Mistisisme sebagai dimensi tersembunyi dari alam semesta dan diri manusia dan esoterisme sebagai inti terdalam dari agama merupakan dua hal yang sama. Mistisisme merupakan dimensi misteri yang mesti disingkap dan jalan yang mesti ditempuh untuk mencapai proses kesempurnaan diri. Banyak diantara para rohaniawan agama yang telah menghabiskan waktu hidupnya untuk berproses menyingkap misteri mistik dan menjalani kehidupan alam mistikal dengan berbasis kekuatan jiwa (akal dan intuisi) dengan berpedoman pada ajaran agama. Dengan menyingkap misteri mistik (esoteris) dari agama maka kita akan tiba pada satu kesimpulan akan kesatuan agama-agama (wahdah al-adyan) pada wilayah esoteris, kendati berbeda pada ranah eksoteris.

D. Prinsip-prinsip Dasar Pluralisme Agama dalam Tinjauan Esoterisme Agama (Dari Pluralitas Menuju Kesatuan)

Dalam membangun konsep pluralisme agama, filsafat perennial mendasarkan pandangannya pada kesatuan dan universalitas esoterik dari semua agama dan ajaran spiritual. Kesatuan universal esoterik tersebut menurut Hazrat Inayat Khan, didasarkan pada sepuluh prinsip fundamen dari seluruh ajaran esoterik agama.Kesepuluh prinsip dasar tersebut menggambarkan secara universal dan prinsipil dari dimensi esoteris alam dan manusia. Dari kesepuluh prinsip esoterik tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa semua agama pada dasarnya mengalami keberangkatan yang berbeda (plural) pada ranah eksoterik menuju kesatuan dalam keabadian universal esoterik.

1. Hanya ada satu Tuhan, abadi, satu-satunya Wujud, tak ada yang eksis kecuali Dia.

Bagi kaum esoterik (mistikus atau sufi), Tuhan adalah sumber dan tujuan dari segalanya, dan "segalanya adalah Tuhan". "Tuhan adalah setiap hal dari segala" (Tuhan sebagai modes existence). Meskipun pada waktu yang bersamaan, dari sudut pandang yang lain, setiap sesuatu "tidak berarti apa pun". Karena keterbatasan akalnya, manusia tak dapat memahami Tuhan sepenuhnya. Yang dapat dilakukan adalah membentuk konsepsi tentang Tuhan bagi dirinya sendiri agar dapat membuat sesuatu yang dapat dipahami dari hal yang tidak terbatas. Tuhan adalah Realitas Sejati (yang nyata), Tugas kehidupan spiritual adalah menjadikan Tuhan sebagai realitas sejati, sehingga bukan semata-mata imajinasi. Hubungan yang terjalin antara manusia dengan Tuhan adalah lebih nyata jika dibandingkan hubungan–hubungan manusia yang lain dengan segala sesuatu yang ada di dunia.
Sesungguhnya pandangan dan gagasan tentang Tuhan adalah sebuah jembatan yang menghubungkan kehidupan yang terbatas dengan realitas yang tak terbatas. Siapa pun yang melewati jembatan ini akan selamat melewati kehidupan yang terbatas menuju kehidupan yang tidak terbatas. Gagasan tentang Tuhan atau pikiran ketuhanan adalah kedalaman kehidupan, kedalaman aktivitas yang kepadaNya seluruh dan setiap aktivitas dihubungkan.
Berbeda dengan kaum eksoterik yang “membatasi Tuhan” hanya dalam doktrin teologinya semata, Kaum esoterik berpandangan, bahwa Tuhan yang ia yakini adalah Tuhan dari setiap keyakinan, dan Tuhan dari semua makhluk, tanpa dibatasi oleh sekat-sekat pemahaman teologis. Meskipun realitasNya hanya satu, tapi ia disebut dengan banyak nama. Allah, Tuhan, God, Gott, Khuda, Brahma, Baghwan, semua nama ini adalah namaNya. Namun, sesungguhnya dia berada di luar batasan nama. Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, kaum esoterik memandang Tuhan adalah "setiap hal dari segala". Kaum esoterik melihat Tuhan di matahari, api, patung, yang disembah sekte-sekte yang berbeda-beda., dan mereka mengenalNya dalam segala bentuk semesta. Tuhan adalah yang lahir dan yang batin, satu-satunya Wujud, Tuhannya kaum esoterik bukan semata-mata keyakinan religius, tetapi juga cita-cita tertinggi yang dapat dibayangkan dan dijangkau oleh manusia.

2. Hanya ada satu guru, pembimbing semua jiwa yang senantiasa membawa pengikutnya menuju cahaya.

Kaum esoteris memahami, bahwa kendati Tuhan adalah sumber segala pengetahuan, inspirasi dan biumbingan. Namun, manusia adalah sarana yang dipilih oleh Tuhan untuk menanamkan pengetahuan, sebagaimana Adam diajar oleh Tuhan perihal nama-nama segala sesuatu yang tidak diketahui oleh seluruh penghuni langit. Dia memberikan kepada seorang manusia yang memiliki kesadaran tentang Tuhan. Orang ini berjiwa matang yang mendapatkan berkah dari surga. Dalam sejarah panjang manusia, Tuhan telah mengutus manusia-manusia pilihan untuk ditugaskan menjadi pembimbing hidup bagi sekalian manusia Dengan kata lain para pembimbing manusia ini adalah manusia pilihan, atau nabi yang muncul dalam berbagai bentuk yanng berbeda-beda. Zoroaster, Lao Tze, Kong Hu Cu, Budha, Rama, dan Kreshna (atau mungkin juga Sawerigading) di satu sisi dan Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad di sisi lain, dan masih banyak lagi yang tidak diketahui oleh sejarah.
Sebenarnya guru sejati bagi kaum esoteris hanya satu, yang disebut dengan gelar kalki autar, “anak Tuhan”, insan kamil, atau berbagai gelar lainnya. Namun, dalam sejarah panjang manusia namanya berbeda-beda dan dia selalu datang untuk membangunkan kemanusiaan dari kesuraman ilusi dan membimbing manusia menuju kesempurnaan. Setiap mereka "bangkit" dari manusia di zaman dan di tempatnya, untuk mengembalikan kesadaran manusia di zamannya yang mulai hilang. Mereka berbahasa dengan bahasa kaumnya dengan risalah dan bimbingan yang dibutuhkan oleh kaumnya.
Perbedaan dikalangan “guru-guru esoterik” tersebut hanyalah pada perbedaan momen dan bahasa yang digunakan, serta nama mereka yang tampil berbeda-beda. Namun, pada intinya risalah mereka berasal dari Yang Satu, dengan kata lain manusia-manusia pilihannya tersebut adalah khalifah Allah di muka bumi yang mewakili setiap zaman dan tempat. Kaum esoterik menyaksikan sisi Ilahi atau Ketuhanan dalam imanensiNya yang maujud di alam semesta, dan baginya kehidupan menjadi penyingkapan sempurna lahir dan batin. Pada saat kita berusaha untuk membangkitkan potensialitas roh bimbingan dalam diri kita, maka kita akan menemukannnya dalam wujud Bodhi satva, guru-guru spiritual, para rasul atau para imam. Roh bimbingan itu akan selalu ada dan dengan cara inilah pesan Tuhan akan disampaikan dari masa ke masa.
Seringkali yang menyebabkan pertengkaran serta peperangan di antara manusia adalah kebergantungan pada guru-guru tertentu (mengakui sebagian dan menolak sebagian yang lain). Masing-masing mereka mengklaim guru yang satu lebih superior ketimbang yang lain dan merendahkan guru-guru yang lain yang dihormati oleh orang-orang yang dari bukan golongannya. Pembeda-bedaan seperti ini tentu saja sama dengan membeda-bedakan manifestasi-manifestasi Ilahi dalam wujud bimbinganNya. Pada dasarnya guru atau mursyid kita hanyalah media atau guide yang mengantarkan kita pada JalanNya, sedangkan guru atau mursyid yang lain juga sama pembimbing bagi orang lain di tempat dan waktu yang berbeda dengan kita. Dan oleh karena itu, klaim superioritas guru kita dengan menafikan guru-guru spiritual yang lain bertentangan dengan ajaran esoterik yang memandang bahwa risalah kebenaran itu satu tanpa mesti membeda-bedakannya.

3. Hanya ada satu kitab suci, manuskrip alam yang sakral, satu-satunya teks suci yang dapat mencerahkan pembacanya.

Kebanyakan orang menganggap, bahwa kitab suci hanyalah buku atau gulungan tulisan tertentu yang ditulis oleh manusia, dan dijaga secara hati-hati sebagai benda suci, diwariskan kepada anak cucu sebagai wahyu Ilahi. Manusia telah sering berperang dan bertikai hanya karena memperselisihkan kitab-kitab ini. Mengakui kitab sucinya dan menolak kitab suci lainnya dan terpecah dalam berbagai agama dan sekte yang saling mengklaim kebenaran tunggal. Dalam pandangan Inayat Khan, para guru sufi (kaum esoterik) telah menghormati semua kitab suci, dan menemukan kebenaran yang sama. Semua kitab suci di hadapan manusrip alam semesta seperti kolam kecil di hadapan lautan.
Bagi mata para penyaksi kebenaran, setiap helai daun adalah sebuah halaman dari sebuah kitab suci yang memuat wahyu Ilahi, dan setiap saat dalam hidupnya dia terilhami oleh pemahaman dari kitab suci semesta ini. Ketika mata jiwa terbuka dan pandangan dipertajam, maka kaum esoterik dapat membaca hukum Ilahi di dalam manuskrip alam. Dan mereka mendapatkan apa-apa yang diajarkan oleh guru-guru kemanusiaan dari sumber yang sama. Mereka mengekspresikan sesuatu yang terekspresikan oleh kata-kata, dan karena itu mereka menjaga kebanaran batin ketika mereka sendiri tak lagi mengungkapkannya.

4. Hanya ada satu agama, jalan kebenaran yang kokoh menuju cita-cita yang memenuhi tujuan hidup setiap jiwa.

Kaum esoterik memiliki toleransi yang besar dan membolehkan setiap orang untuk menempuh jalannya sendiri-sendiri. Mereka tidak membandingkan prinsip orang lain dengan prinsipnya sendiri, tetapi ia membiarkan orang berpikir bebas, karena ia adalah seorang pemikir bebas. Agama dalam konsepsi kaum esoterik adalah jalan yang mengantarkan manusia menuju kepada pencapaian cita-citanya di dunia dan akherat. Karena itu kaum esoterik tidak memperhatikan nama agama dan tempat ia beribadah. Dan semua agama menyampaikan agama jiwanya yangn universal, "aku melihat Engkau di Ka'bah suci dan di kuil berhala kulihat Engkau juga”.
Agama mungkin dimulai di Timur atau di Barat, di Selatan atau di Utara, atau bahkan mungkin di mana saja. Namun, semakin kita berpikir bahwa semua itu berasal dari Yang Satu, menjadi bukti bahwa semua itu adalah ungkapan-ungkapan atas satu agama. Dan agama yang satu itu adalah agama alamiah, yaitu ruh yang menyeluruh dari semua agama. Esoterisme adalah agama hati, agama yang padanya, hal utamanya adalah "mencari Tuhan di dalam hati". Kaum esoterik tidak lagi mempersoalkan apa agama yang dijadikan media, ibadah seperti apa yang dilakukan, dan di tempat ibadah mana dilakukan. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana "ketulusan seseorang dalam melakukannya". Hingga akhirnya agama apa pun dapat menjadi tuntunan, ibadah bagaimana pun yang dilakukan di tempat mana pun akan dapat menjadi sarana, bagi pencapaian Tuhan dalam hati manusia. Karena sebagaimana kata Sang Yesus, "Kerajaan Bapa ada dalam hatimu", dan Hadis Nabi saw, "Tuhan bersemayam di hati-hati kaum mukminin". Mesjid, gereja, sinagog, ataupun kuil hanyalah tempat. Shalat, misa, kebaktian, atau sembahyang hanyalah media yang mengantarkan manusia "lepas" dan kemudian "menyelam" menembus dasar hatinya untuk bertemu dengan Tuhan.

5. Hanya ada satu hukum, hukum timbal balik yang dapat dilihat oleh kesadaran yang tidak egois, dan rasa keadilan yang terbangkitkan

Hukum resiprositas atau timbal-balik adalah hukum yang menyelematkan manusia dari ancaman kekuatan yang sangat besar, rasa keadilan dibangkitkan dalam pikiran yang tenang, bebas dari indoktrinasi atau mabuk kekuatan, kekuasaan, harta, atau status sosial. Intinya bagaimana hukum yang mengantarkan manusia pada harmonisasi kehidupan. Kendati agama-agama berbeda dalam ajaran tentang bagaimana manusia mesti berbuat secara harmonis dan damai dengan sesamanya. Berbeda-beda dalam penetapan hukum, namun sesungguhnya semuanya bertemu dalam satu kebenaran, "berbuatlah kepada orang lain, sebagaimana engkau ingin orang lain berbuat terhadap dirimu sendiri".
Resiprositas hukum dan kesadaran dalam ajaran esoterisme. Esoterisme mengarahkan kita pada kedewasaan untuk terbiasa pada berbagai sudut pandang individu. Namun, bukan berarti esoterisme tidak mengindahkan sudut pandang individu. Ia menekankan pentingnya kesadaran, bahwa pandangan kita hanyalah satu sudut pandang belaka dan bahwa kita mesti belajar memandang segala sesuatu dari semua sudut. Spiritualitas menggali perspektif yang lebih semakin luas. Membiarkan diri kita terkungkung dalam sudut pandang sempit kita sendiri tidak akan membawa kita kemana-mana kecuali berputar-putar dalam lingkaran, "bagaikan seekor lalat dalam botol, yang tak dapat keluar". Intinya dalam ajaran esoteriklah manusia dapat membangun harmonisasi kehidupan, untuk itu diperlukan kesamaan pandangan dan kesadaran dalam wilayah fondasional hukum yang tidak memihak pada salah satu sudut pandang saja.

6. Hanya ada satu persaudaraan, persaudaraan manusia yang menyatukan anak-anak bumi "dalam diri" Tuhan

Alam semesta, termasuk diantaranya manusia, berasal dari ledakan besar yaitu ledakan primordial yang luar biasa dari cahaya yang akhirnya terkristal dalam wujud materi. Kaum esoterik memahami bahwa hidup yang memancar dari wujud batin dimanifestasikan ke permukaan dalam bentuk beragam, dan dalam dunia ini manusia adalah manifestasi yang terbaik, karena dalam evolusinya, dia dapat merealisasikan kesatuan wujud ini, bahkan dalam keragaman eksistensi eksternalnya sekalipun. Tetapi ia mencapai tujuan ini yang merupakan satu-satunya tujuan kedatangannya di dunia melalui penyatuan dirinya dengan orang lain. Oleh karena itu, kaum esoterik menyadari kesatuan universal manusia, mereka membebaskan diri dari batas-batas kebangsaan, rasial, dan agama, menyatukan diri dalam persaudaraan manusia yang bebas dari perbedaan status, kelas, keyakinan, ras, bangsa, atau agama, dan menyatukan manusia dalam persaudaraan universal.
Persaudaraan universal tersebut di dasari oleh kesamaan primordial seluruh manusia, sebagai "bagian utama" dari "diri Tuhan". Menurut Inayat Khan, persaudaraan bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari dan diajarkan (secara konsepsional), Persaudaraan adalah suatu kecendrungan yang muncul dari hati, yang ditala dengan tangga nada yang tepat.


7. Hanya ada satu moral, yakni cinta yang memancar dari penolakan diri dan merekah dalam prilaku kebajikan

Ada prinsip-prinsip moral yang diajarkan kepada manusia dari bermacam-macam guru dan tradisi yang bermacam-macam dan berbeda satu dengan yang lain. Ada banyak prinsip moral, seperti tetesan-tetesan air yang jatuh dari satu sumber, tetapi hanya ada satu aliran yang berada pada sumber dari segalanya. Dan itu adalah cinta yang memberikan harapan, melahirkan kesabaran, keteguhan, kemurahan hati, toleransi, dan melahirkan semua prinsip moral. Semua perbuatan baik berasal dari tanah cinta hati dan memancar dari cahaya cinta.
Dalam the Heart of Sufism, Inayat Khan menyebukan ada tiga tingkatan moral yang ada pada manusia. Tingkatan pertama adalah moral pertukaran. Yaitu yang dialami oleh seseorang yang menganggap dan melihat perbedaan antara dirinya dan orang lain. Tingkatan moral yang kedua adalah moral keuntungan. Di mana sebagaimana moral pertukaran, manusia mengenal dirinya sebagai entitas yang terpisah dari orang lain dan mengenal orang lain sebagai entitas yang lain. Meskipun demikian, ia melihat tali penghubung yang menghubungkan antara dirinya dengan semua yang lain. Agar bisa memiliki gema kebaikan bagi dirinya, ia memberikan kebaikan untuk kebaikan, dan membalas kebaikan untuk kejahatan. Tingkat ketiga dari hukum moral ada tingkat moral penyerahan. Yaitu ketika perbedaan antara 'milikku" dan "milikmu" dan keterpisahan antara "saya" dan "kamu" menghilang dalam satu realisasi kehidupan. Orang yang telah mencapai tingkat moral penyerahan secara ontologis tidak lagi melihat keterpisahan antara dirinya dengan yang lain, melainkan melihat kesatuan kemanusian dalam Wujud TunggalNya, inilah tingkat moral kaum esoterik.

8. Hanya ada satu objek pujian, keindahan yang mengangkat hati hamba melalui semua aspek, dari yang terlihat menuju yang tak terlihat

Dikatakan. Dalam sebuah hadis bahwa, "Allah itu Indah dan menyukai keindahan". Hadis ini mengekspresikan kebenaran bahwa manusia, yang menerima ruh Tuhan, memiliki keindahan dalam dirinya dan mencintai keindahan, kendati keindahan bagi seseorang belum tentu indah bagi orang lain. Manusia menanamkan rasa keindahan ini saat dia tumbuh, dan menyukai aspek keindahan yang lebih tinggi ketimbang yang rendah. Tetap ketika ia menyaksikan visi tertinggi dari keindahan, yakni yang Maha Gaib melalui evolusi bertahap dari keindahan di dunia yanng tampak, maka seluruh eksistensi menjadi satu visi keindahan tunggal bagi dirinya. Dengan menyadari hal tersebut, kaum esoterik memuja keindahan dalam segala aspeknya. Keindahan yang sejati terletak pada dimensi noumenal yang "berada" di balik sisi fenomenal yang kita cerap oleh indera. Fenomena estetis yang empirik hanyalah sarana bagi jiwa kita untuk mampu "menangkap" gejala keindahan yang luar biasa di balik penampakan empirikal tersebut.
Gerakan alam semesta dari sudut pandang esoteris menjadikan musik sebagai awal dan akhir dari seluruh ritme alam semesta. Perbuatan dan gerakan yang dibuat di dunia yang fenomenal maupun noumenal bersifat musikal. Mereka terdiri dari berbagai vibrasi yang menyinggung bidang eksistensi tertentu. Demikian pula dalam ritme gerakan dan alunan pujian yang dilakukan oleh kaum esoterik untuk memuja Sang Kekasih merupakan alunan musikal yang membentuk ritme syahdu yang mengantarkan jiwa sang sufi untuk lebur dalam alunan ritme kesemestaan yang berporos (berawal dan berakhir) pada Sang Realitas Pemilik Keindahan. Bagi para sufi kebenaran, kebaikan, dan keindahan adalah karakter dasar dari diri kosmik universal. Yang dari ketiga hal ini melahirkan keharmonisan alam semesta.

9. Hanya ada satu kebenaran, pengetahuan sejati tentang wujud kita, di dalam dan di luar, yang merupakan esensi dari segala kebijaksanaan

Rasulullah saw menyatakan, "Kenalilah dirimu, maka kamu akan mengenal Tuhanmu". Pengenalan tentang diri merupakan pengetahuan yang berkembang "di dalam" pengetahuan Allah. Pengetahuan tentang diri menjawab permasalahan-permasalahan seperti, darimana saya? Apakah saya menjadi eksis sebelum saya menjadi sadar tentang eksistensi saya sekarang? jika saya eksis seperti apakah saya?. Pengetahuan tentang diri juga mengajarkan tentang persoalan seputar tujuan apa yang harus kita penuhi? Dan bagaimana mencapai tujuan tersebut?.
Kaum esoterik mengakui pengetahuan diri sebagai esensi agama, ia menemukannya dalam setiap agama, dia melihat kebenaran yang sama dalam setiap agama dan karena itu menganggapnya satu. Karenanya para sufi menyadari perkataan Yesus, "Aku dan Bapaku adalah satu". Walau begitu perbedaan antara makhluk dan pencipta tetap ada, meski secara hakekat tidak inilah yang dimaksud dengan “persatuan dengan Tuhan”. Persatuan ini adalah dalam realitas "kelenyapan' (fana') diri palsu dalam pengetahuan tentang diri yang sejati, yang bersifat Ilahiyah, kekal, dan meliputi.
Pengetahuan yang mendasar tentang diri kita awal dari seluruh kebijaksanaan dalam tindakan hidup kita. Karena dengan mengenal diri kita yang sebenarnya, maka kita akan mengenal hakekat tujuan hidup kita dan cara-cara pencapaiannya. Dalam sejarah perjalanan intelektual manusia, yang paling sering ditekankan oleh para tokoh baik dari Timur maupun Barat, mulai dari Lao Tze, Kresna, hingga Socrates, Isa, dan Muhammad saw adalah pengenalan diri sebagai fondasi dalam pencapaian kebermaknaan, keharmoniasan, dan kebahagiaan hidup.

10. Hanya ada satu jalan, pelenyapan ego palsu ke dalam ego sejati, yang mengangkat ego yang fana' menuju keabadian, tempat segala kesempurnaan

Semua orang yang menyadari rahasia hidup akan memahami bahwa hidup itu adalah satu, namun memuat dua aspek. Pertama, imortal, meliputi, dan hening dan yang kedua adalah mortal, aktif dan maujud dalam keragaman. Keberadaan jiwa dari aspek pertama menjadi tertipu, tak berdaya dan terperangkap dalam pengalaman hidup yang bersentuhan dengan pikiran dan tubuh. Angan-angan akan membuat manusia tak berdaya, terperangkap, dan teralienasi. Ini adalah tragedi kehidupan yang membuat manusia dari berbagai kalangan akan terus menerus dilanda kekecewaaan dan terus menerus mencari sesuatu yang tidak ia ketahui.
Fenomena keterasingan, ketakberdayaan, dan ketakbermaknaan hidup yang telah menghinggapi hampir seluruh manusia yang larut dalam gemuruh ego hawa nafsunya, membuat kaum esoterik yang mengetahui akan dirinya mengambil jalan lain. Para sufi karena menyadari hal ini kemudian mengambil jalan fana' dan dengan bimbingan guru (mursyid) menemukan akhir dari perjalanannya yang sesungguhnya adalah tujuan finalnya. Seperti dikatakan oleh Iqbal, "Aku mengembara mencari diriku sendiri, akulah pengembara dan akulah tujuan".

E. Membangun Konsepsi Pluralisme yang Perennial menuju Tatanan Kemanusiaan Yang Ideal

Menurut Jalaluddin Rakhmat, pada suatu kesempatan diskusi tentang pluralisme di Makassar, defenisi generik dari pluralisme meyakini bahwa umat agama lain juga berhak untuk mendapatkan keselamtan eskatologis, atau dalam istilah John Hick disebut sebagai pluralisme soteriologis. Sedangkan Muhammad Fathi Osman mengatakan, pluralisme adalah suatu bentuk kelembagaan di mana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan. Makna pluralisme lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Di satu sisi, pluralisme mensyaratkan ukuran-ukuran kelembagaan dan legal yang melindungi dan mensyahkan kesetaraan dan mengembangkan rasa persaudaraan di antara manusia, baik sebagai pribadi maupun kelompok. Pluralisme menuntut suatu pendekatan yang amat serius terhadap upaya untuk memahami pihak lain dan kerjasama yang membangun untuk kebaikan semua.
Filsafat perennial memberikan suatu pendekatan lain untuk menuju konsepsi pluralisme. Filsafat perennial membangun konsep pluralisme agama dengan menggunakan metode kritis-kontemplatif. Filsafat perennial mendasarkan konsep pluralismenya pada pendekatan trans-historis dan metafisis serta tidak terpaku pada pendekatan akademik historis atau sosiologis belaka. Kearifan sosial yang terbangun dalam bentuk-bentuk sebagaimana yang dipaparkan oleh Muhammad Fathi Osman merupakan implikasi dari pendekatan pemahaman agama yang trans-historis dan metafisis.
Filsafat perennial tidak meyakini bahwa semua agama sama atau tidak menghargai religuisitas yang partikular serta mereduksi praktek-praktek keberagamaan yang eksoterik menjadi tidak bernilai. Apalagi sampai “menelanjangi” identitas dan simbol-simbol lahiriyah agama, karena hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai perennial itu sendiri. Filsafat perennial berpandangan bahwa Kebenaran Mutlak hanyalah satu, tetapi dari Yang Satu itu memancar berbagai “kebenaran” sebagaimana matahari yang secara niscaya memancarkan cahayanya. Hakikat cahaya adalah satu dan tanpa warna tetapi spektrum cahayanya ditangkap oleh mata manusia dalam kesan yang beraneka warna. Artinya, meskipun hakekat dari agama itu satu sebagaimana yang diuraikan dalam kesepuluh prinsip universalitas esoteris. Tetapi karena agama muncul dalam ruang dan waktu tidak secara simultan, maka pluralitas dan partikularitas bentuk dari bahasa agama tidak bisa dielakkan dalam realitas sejarah. Dengan kata lain, pesan kebenaran yang Absolut itu bersimbiose dan berpartisipasi dalam dialektika sejarah. Itulah sebabnya secara eksoterik-historis agama tampil dalam berbagai wajah, namun pada ranah esoterik-transhistoris agama pada dasarnya satu karena berasal dari realitas trans-historis yang tak mengenal partikularitas dan pluralitas. Dalam konsep eskatologis, karena filsafat perennial memandang semua agama menuju pada tujuan yang sama dan berdasar pada kearifan dan kebanaran yang sama pula. Maka akan terbangun sikap pluralis karena memandang keselamatan eskatologis terbuka untuk seluruh manusia, dari berbagai latar belakang agama maupun keyakinan.
Dengan memahami kesatuan agama secara substansial, maka filsafat perennial akan mengantarkan kita untuk memahami agama -meminjam istilah Alport- secara intrinsik dan tidak beragama menurut pola ekstrinsik. Pola keberagamaan intrinsik kan mengantarkan kita untuk selalu memaknai dan menghayati agama secara obyektif dalam ranah kehidupan kita. Secara sosiologis hal ini akan membuat kita senantiasa bersikap arif dan menghargai terhadap berbagai perbedaan yang tampak dengan orang lain. Ruang dialog, saling memahami, kerjasama, dan persaudaraan sebagai perwujudan konsep pluralisme akan lebih mudah untuk terbangun dalam ranah kehidupan sosial umat beragama yang berbeda.
Dalam konteks membangun tatanan kemanusiaan yang ideal, filsafat perennial akan mengantarkan manusia pada konsep pluralisme yang aktif, arif dan konstruktif. Aktif dalam artian, pluralisme yang terbangun tidak hanya sebatas pada koeksistensi pasif saja, melainkan sampai pada terbukanya kerjasama dan dialog yang aktif. Arif dalam artian, pluralisme yang terbangun tidak hanya berhenti pada toleransi semata, tapi pluralisme yang terbangun menghasilkan persaudaraan universal yang humanis tanpa dibatasi oleh sekat-sekat keyakinan. Selain itu pluralisme yang terbangun juga akan mengantarkan manusia untuk menghargai persamaan nilai-nilai universal dari semua agama. Konstruktif dalam artian pluralisme yang terbangun akan membentuk sistem-sistem sosial yang akan mengarahkan manusia pada sebuah kemajuan peradaban manusia yang humanis dan damai.
Sebagaimana dikatakan oleh Ayatullah Sayyid Ali Khamene’I (pemimpin spiritual Iran), pada suatu pertemuan agama-agama di Teheran. Pluralisme perennial berpandangan bahwa agama pada dasarnya menganggap keselamatan dan kesejahteraan umat manusia sebagai tujuan utamanya. Setiap agama pada dasarnya menampilkan “program” Tuhan kepada umat manusia sesuai dengan tuntutan zaman, ruang, dan kapasitas umatnya. Pembawa misi agama (para nabi dan pelanjut setianya) sebagian besar menanggung perjuangan berat dan panjang untuk menyampaikan dan merealisasikan misinya. Perjuangan dan dan jerih payah penuh keimanan ini ditujukan pada keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian dengan memahami merealisasikan konsepsi pluralisme perennial maka diharapkan akan terwujud tatanan sosial kemanusiaan yang ideal yang mengantarkan manusia pada pintu gerbang kejayaan peradaban yang humanis dan damai.

0 komentar: