Jasman al-Mandary
Istilah humanisme mempunyai riwayat dan pemaknaan yang kompleks. Humanisme, sebagai sebuah terma mulai dikenal dalam diskursus wacana filsafat sekitar awal abad ke 19. Menurut K. Bertens, istilah humanisme baru digunakan pertama kali dalam literatur di Jerman, sekitar tahun 1806 dan di Inggris sekitar tahun 1860. Istilah humanisme diawali dari Term humanis atau humanum (yang manusiawi) yang jauh lebih dulu dikenal, yaitu mulai sekitar masa akhir zaman skolastik di Italia pada abad ke 14 hingga tersebar ke hampir seluruh Eropa di abad ke 16. Terma humanis (humanum) tersebut dimaksudkan untuk menggebrak kebekuan gereja yang memasung kebebasan, kreatifitas, dan nalar manusia yang diinspirasi dari kejayaan kebudayaan Romawi dan Yunani. Gerakan humanis berkembang dan menjadi cikal bakal lahirnya renaisance di Eropa.
Dalam perkembangannya humanisme di Eropa menampilkan penentangan yang cukup gigih terhadap agama (dalam hal ini Kristen) dan mencapai puncaknya, ketika Augusto Comte mendeklarasikan “agama humanitarian” dan menggantikan agama yang dianggap tidak humanis. Pertentangan ini terus berlangsung, hingga di pertengahan abad ke 20 para pemuka-pemuka Kristen mulai memberi ruang apresiasi bagi humanisme dan pada konsili Vatikan II (1962-1965) pihak Katolik memberi respon positif terhadap humanisme. Namun lucunya, ketika kalangan agama mulai mengapresiasi humanisme, diskursus filsafat justru mempropagandakan anti humanisme, khususnya dengan wacana “kematian manusia”nya Michel Fouchault, “absurditas manusia”nya Albert Camus.
Humanisme sebagai sebuah term diskursus menuai berbagai pemaknaan, tergantung berbagai sudut pandang dan tinjauan yang digunakan. A. Lalande, menyebutkan beberapa pengertian humanisme, yang diantaranya ada yang saling bertentangan. Salah satu pengertian humanisme adalah gerakan humanis di Eropa yang memandang manusia dalam perspektif “manusiawi’ belaka yang bertentangan dengan perspektif religius (agama). Di samping itu, A. Lalande juga menyebutkan pengertian humanisme sebagai pandangan yang menyoroti manusia menurut aspek-aspek yang lebih tinggi (seni, ilmu pengetahuan, moral, dan agama) yang bertentangan dengan aspek-aspek yang lebih rendah dari manusia. Ali Syari’ati menyebutkan defenisi humanisme sebagai himpunan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang berorientasi pada keselamatan dan kesempurnaan manusia. Tampaknya dari berbagai defenisi mengenai humanisme, defenisi yang diajukan oleh Ali Syari’ati lebih mendekati arti humanisme dari sudut pandang etimologis (human atau homo = manusia dan isme = paham atau pandangan).
Sekalipun istilah humanisme merupakan terma yang hanya dikenal dalam diskursus filsafat, namun humanisme sebagai pandangan mengenai konsep dasar kemanusiaan dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, seperti sains dan spiritualisme. Dalam tulisan ini, humanisme coba diurai secara singkat dari tinjauan sains, filsafat, dan spiritualisme.
Secara ontologis, sains mendasarkan pandangannya pada diktum fisika Newton yang menyatakan “tiada fenomena yang tak dapat diukur dalam filsafat eksperimental”. Diktum ini melahirkan pandangan positivisme yang menekankan metode empirikal-eksperimentatif dalam memahami realitas. Metode ini meniscayakan lahirnya paradigma reduksionisme-atomistik yang menghasilkan pengerusan pada makna dan hakekat realitas. Dalam nalar saintifik pengetahuan semata bersifat nomotetis dan tidak terdapat pengetahuan yang bersifat ideografis (nilai dan kesadaran). Walhasil, humanisme dalam tinjauan sains, memandang manusia tak lebih dari fakta empirikal (nomotetis) dan bersifat mekanistik-deterministik serta mereduksi manusia dari hal-hal non empiris, seperti nilai dan kesadaran. Konstruksi manusia dalam pandangan saintifik ini mencapai titik ekstrimnya dalam pandangan Julien O de Lametrie yang menyamakan manusia dengan mesin (L’ Homme machine).
Pandangan sains tersebut, menuai kritik yang cukup tajam dari para ilmuwan dan filosof yang mencermati dilema-dilema yang muncul dalam fakta kemanusiaan sebagai akibat pandangan humanisme yang sangat saintifik (positivistik). Konsep alienasi, deprivasi, “kehilangan jati diri”, dan split personality merupakan serangkaian terma yang ditujukan sebagai kritik terhadap implikasi pandangan kemanusiaan yang dihasilkan dari kemajuan sains. Erich Fromm menyebutkan perkembangan teknologi menghasilkan pergeseran mendasar dari human thought kepada thinking of machine yang mengakibatkan manusia tergeser dari pusat peradaban hingga ke “margin-margin” peradaban. Hal senada juga diungkapkan oleh Nicholas Bordayev yang menyebutkan pandangan ilmiah dan kemajuan teknologi berakibat pada perbudakan manusia oleh mesin.
Filsafat mendasarkan dirinya pada akal sebagai realitas sublim pada diri manusia. Dengan sendirinya pandangan filosofis memandang manusia tidak hanya sebatas realitas material belaka yang statis dan determinis, melainkan juga sebagai realitas ideografis yang memiliki persepsi dan kesadaran yang bersifat dinamis. Sebagaimana dalam pandangan Jean Paul Sartre yang mengklaim filsafat eksistensialismenya sebagai pandangan yang humanis membagi eksistensi manusia secara bidimensional, yaitu l’ etre en soi (ada dalam diri) dan l’ etre pour soi (ada untuk diri). Dengan akalnya, manusia berperan sebagai “lakus dunia” yang dapat mempersepsi, mengubah, serta memberi nilai dan makna pada dunia dan hidupnya. Sekalipun demikian, mengenai persepsi, serta nilai dan makna yang dihasilkan akhirnya berbeda bahkan bertolak belakang antara satu pemikir dengan pemikir lainnya. Jika kita menelusuri humanisme dari sudut pandang filsafat maka kita akan terbawa pada perdebatan panjang yang tiada henti mengenai nilai dan makna kehidupan manusia. Paling tidak kita akan sampai pada perdebatan kalangan filosof eksistensialis (Nietszche, Kierkegard, Sartre, Jaspers, Marcel, dan pemikir eksistensialis lainnya) serta pemikiran para filosof lainnya yang sangat tidak memungkinkan untuk diungkapkan dalam pertemuan dan tulisan ini. Namun paling tidak, humanisme dari sudut pandang filsafat berakar pada pandangan yang sama mengenai manusia sebagai “lokus semesta” yang berkesadaran, dinamis, dan dengan kemampuan akalnya senantiasa mencari makna dan nilai dalam kehidupannya.
Jika sains memandang manusia dari sisi matternya, filsafat memandang manusia dari sudut pandang mindnya, maka spiritualisme memandang manusia dari sudut pandang spirit (ruh)nya. Secara ontologis, spiritualisme mendasarkan pandangannya bahwa manusia selain memiliki dimensi eksoteris (tubuh), manusia juga memiliki sisi esoteris (ruh) yang bersifat transenden dan Ilahiyah. Dimensi esoteris inilah yang menjadi esensi kemanusiaan manusia serta menjadi elan vital bagi gerak dinamis manusia dalam kehidupannya. Spiritualisme sangat menekankan aspek intuitif dalam proses pencapaian makna dan hakekat dari realitas, termasuk diri manusia. Intuisi merupakan potensi epstemologis yang dimiliki oleh manusia untuk mencerap secara langsung dengan realitas yang tidak terbuka terhadap persepsi indrawi dan menangkap realitas tersebut secara esensial dan utuh. Jika akal dan indra hanya mampu mencerap pengalaman-pengalaman fenomenal manusia, intuisi mengantarkan manusia untuk mencerap pengalaman-pengalaman eksistensialnya.
Spritualisme berpandangan bahwa Tuhan adalah modus eksistensi manusia yang kepadaNya seluruh manusia mesti menuju. Spiritualisme memandang bahwa realitas spiritual yang merupakan elan vital manusia adalah pancaran dari Ruh Ilahiyah (Tuhan) yang bertajalli “dalam” diri manusia dan terejawantahkan dalam atribut-atribut ketuhanan yang dimiliki manusia, seperti kesadaran diri, kehendak bebas, dan kreatifitas. Sekalipun dengan berbagai penamaan yang berbeda (Ruh Allah, Ruh Kudus, Atman, Tao, Budha)., namun seluruh tradisi spiritual (agama) sepakat, bahwa spritualitas manusia bersifat universal dan tak terbatas dan mengantarkan manusia untuk merasakan dan memaknai secara langsung (hudhuri) kehidupannya. Selain itu, semua tradisi spiritual sepakat, bahwa jalan untuk mencapai keselamatan dan kesempurnaan manusia sebagaimana yang dicita-citakan oleh humanisme, adalah dengan membangun keseimbangan dalam hidup antara aspek teoetika atau penghambaan dengan Tuhan (ibadah), psikoetika atau penyucian jiwa dari sifat-sifat tercela, dan diwujudkan dalam bentuk pengkhidmatan kepada sesama manifestasi-manifestasinya (manusia dan alam) atau sosioetika. Karena manusia memiliki atribut ketuhanan, maka manusia wajib untuk “berakhlak sebagaimana akhlak Tuhan”, sebagaimana yang dikatakan Iqbal “menyerap Sifat-Sifat Tuhan dan menjadikannya sebagai elan vital untuk mengubah dunia”.
Secara umum, humanisme dalam pandangan sains dan filsafat secara an sich, masih terjebak pada adanya keterpisahan antara “aku” dan “kamu”. Hal ini didasarkan pada pandangan sains yang mendasarkan manusia pada matter (body)nya dan filsafat pada mind, sehingga masih ada my body and your body, juga my mind and your mind yang berbeda dan terpisah, hal ini masih memungkinkan lahirnya individualisme. Sedangkan spiritualisme yang mendasarkan pandangannya pada spirit manusia yang tunggal dan universal sangat memungkinkan untuk mengantarkan manusia meninggalkan egoismenya dan menuju cita-cita humanisme universa, yaitu persamaan, persaudaraan, cinta kasih, keadilan dan pengorbanan. Pandangan ini bukan berarti menafikan peran sains dan filsafat dalam kehidupan manusia. Imam Husein as, menjadi “humanis”, bukan karena pandangan empirik atau filosofisnya belaka, tapi intuisilah yang mengantarkan Imam Husein pada pengalaman eksistensial dan merasakan penderitaan mereka yang tertindas. Dan panggilan spirituallah yang “memanggil” Imam Husein as, untuk berkorban.
Darah tak akan pernah menghapus noda sejarah
Yang kita tangisi bukanlah pembantaian,
tapi nurani kemanusiaan yang hilang
Setiap hari adalah Asyura dan Setiap tempat adalah Karbala
(Manifesto Perjuangan para Pencinta Ahlul Bait as)
Selamat hari Asyura
*) Tulisan ini dipresentasikan pada paket kajian Asyura IJABI Sulsel pada tanggal 25 Januari 2007 di Panrita.
HUMANISME DALAM TINJAUAN SAINS, FILSAFAT, SPRITUALISME *)
Rabu, 05 Agustus 2009 Diposting oleh Jasman al_Mandary di 07.54
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar