BUDAYA MODERN (Suatu Analisis Kritis)

Jumat, 07 Agustus 2009
Jasman al¬mandary-
Larailah kawanku, kedalam keseandirianmu
kulihat kamu jadi tuli,oleh suara riuh orang-orang besar
dan tersengat oleh orang-orang kecil,
Hutan dan karang tahu benar bagaimana jadi membisu bersamamu.
-Setelah Revolusi Tak ada lagi-

Pemberhalaan benda (materialisme), Manusia (humanisme), Kekuasaan (kolonialisme). Modal (kapitalis), Kenikmatan (hedonisme) dan sebagainya merupakan landasan filosofis dan intelektaual bagi minculnya kebudayaan modern. Disisilain revolusi industri yang berdampak pada pola konsumsi dan distribusi adalah landasan historis bagi perkembangan kebudayaan modern pada masa selanjutnya.
Untuk membuktikan bahwa materialisme adalah roh kebudayaan modern, tergambar lewat penolakannya terhadap realitas Ilahiah serta kehadirannya.Dan lantaran kehadiran Ilahi merupakan landasan ontologis bagi spritualitas dan moralitas, maka pengingkaran ini berimplikasi pada peniadaan aspek spritualitas dan moralitasa manusia layaknya robot ataupun binatang yang tanpa perasaan. Humanisme yang berpanjikan “manusia adalah tuhan bagi dirinya” ini tidak bisa dilepaskan dari rangkaian teragedi sepanjang paruh kedua milenium kedua sejarah manusia.
Manakalah semua potensi dipakai untuk memburu kenikmatan yang “disodorkan” pelaku kabudayaan akan kehilangan rasionya. Realaitas taklagi dapat dirajut jadi gubahan yang bermakna, gelombang kebingungan, skeptisisme, sinisisme, dan relativisme pun akan silih berganti menerpa sukmah, maka lenyaplah nilai-nilai idealisme yang berpangkal pada materialisme dan kolonialisme. Teriakan buruh, tangisan petani, keluh-kesah nelayan, bahkan darah kaum tertaindas taklagi mampu menggugah nurani kita bahkan menjadi lahapan istimewa untuk bahan eksploitasi para koruptor.
Dalam keadaan semikiana ini, identitas diri perlahan-lahan akan meleleh. Tak ada nama yang bisa menandai eksistensinya. Dalam ngarai anonimitas yang menakutkan itu, mereka karam dan lenyap. Meminjam ungkapan Martin Hiedegger “Keberadaan mereka lenyap dalam kebisingan” disaat itulah jiwa kita akan mengalami apa yang disebut dengan alienasi (keterasingan dari diri sendiri).
Karakter paling menonjol dari kepribadian maca ini adalah obsesinya untuk mengubah semua “yang ada” menjadi fasilitator hasrat dan angan-angannya. Kedudukan, kekuasaan, dan jabatan tidak dianggap sebagai tanggung jawab

melaingkan sebagai pasilitas untuk memperkaya diri dan keturunan. Korupsi dan nepotisme akan menjadi sarapan pagi yang empuk. Moralitas hanya dianggap mitos yang direkayasa untuk membendung fantasi dan mengurung manusia dalam suatu penjara yang sempit.
Perlawanan atas sebuah tirani adalah keniscayaan hidup,
tidak ada tanggal pasti, tidak akan ada pula parade menjemukan,
tapi kejatuhan atas sebuah tirani akan berakhir rampung,
bukan karena takdir tapi karena kita berjuang.
Didalam rahim materialisme, humanisme dan kapitalisme modern, terkandung kebudayaan massa yang bercirikan, memposisikan pelaku kebudayaan seabagai objek (terobjektivasi), mengalami alienasi dan pembodohan.
Objektivasi berarti manusia adalah mahluk fasif, tidak “berfikir” dan selalu mengandalkan petunjuk-petunjuk empirik untuk merumuskan konsep-konsep hidupnya. Manusia akan mengambil kesimpulan tentang dirinya dari perilaku yang tampak, seperti anggota DPR yang tidak merasa bersaalah menyelewengkan dana taktis setelah mengetahui peristiwa korupsi besar-besaran yang dilakukan ketuannya.
Alienasi artinya pelaku kebudayaan merasa asing dari dan dalam lingkungannya sehingga ia cendrung membri makan benalu penindas dan menciptakan agrasi horisontal (saling menyerang dan menyalahkan sesama orang tertindas karena tidak dapat memenuhi keinginan penindas).
Pembodohan terjadi karena waktu terbuang tanpa ada pelajaran hidup yang berguna yang dapat dipetik. Dalam kata-kata Zohar dan Marshall.
“Kebudayaan modern menghilangkan nilai-nilai kepekaan fundamental, yakni nilai- nilai yang melekat pada bumi dan perubahan musimnya, pada pergantian hari dan perputaran jamnya, pada perkakas hidup dan ritual kesehariannya, pada tubuh dan perubahana organiknya, pada buruh dan buah-buahan hasil tanamannya, pada tahap- tahap kehidupan dan pada nilai- nilai yang menyatu paduh dengan kematian sebagai ending yang alami. Kita hanya bisa melihat, menggunakan dan menghayati apa yang segerah yang terlihat dan pragmatis, kita buta pada tataran- tataran simbol dan makna yang lebih dalam yang dapat menempatkan segenap objek kita, aktivitas kita dan diri kita kedalam kerangka kerja eksistensial yang lebih luas kita memang tidak butah warnah tetapi hampir pasti kita buta makna.”

0 komentar: